REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Fergi Nadira B, Reuters
India telah memulai upaya vaksinasi untuk 1,38 miliar penduduknya pada pertengahan Januari 2021 lalu. Layanan kesehatan, pekerja garis depan, dan orang tua adalah yang pertama memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin.
Sasaran selanjutnya, kelompok orang berusia di atas 45 tahun pada April dan kemudian orang dewasa berusia 18-45 tahun pada Mei. Namun, lini masa program vaksinasi India itu kemudian menjadi berantakan ketika jumlah kasus infeksi dan kematian terus menanjak pada April, padahal perluasan pada kelompok terakhir mencakup sekitar 43 persen populasi India adalah titik kritis sukses-tidaknya vaksinasi.
Menyusul lonjakan infeksi Covid-19 di seluruh negeri pada April, Perdana Menteri Narendra Modi mempercepat rencana untuk memperluas program dan membuka vaksinasi mulai 1 Mei untuk orang berusia antara 18 dan 45 tahun. Namun, keputusan tersebut menyebabkan orang-orang dalam kelompok 18-45 tahun yang jumlahnya mencapai 600 juta populasi, menjadi terburu-buru untuk mendaftar ke situs web vaksinasi CoWIN.
Membeludaknya pendaftar vaksinasi dari kelompok 18-45 tahun tidak diimbangi dengan pasokan vaksin. Akibatnya, hingga 4 Juni, India setidaknya baru menyuntikkan satu dosis untuk sekitar 50 juta orang berusia antara 18 dan 45 tahun, yang artinya hanya delapan persen dari total kelompok tersebut.
Pemerintah India pun mengharapkan pasokan vaksin meningkat secara substansial mulai Juni. Kondisi ini akan menghasilkan cukup dosis pada Desember untuk memvaksinasi sekitar 950 juta orang dewasa.
Kondisi di atas semakin dipersulit dengan munculnya kesenjangan antara warga kota dan desa. Apalagi, rumah sakit mengenakan harga yang berbeda untuk vaksin yang sama.
Sebagai contoh, rumah sakit kota besar mengenakan biaya 1.800 rupee per dosis Covishield yang diproduksi di India. Harga itu hampir dua kali lipat dari 950 rupee yang dikenakan di daerah nonperkotaan. Kecepatan capaian program vaksinasi di kota dan desa juga dilaporkan mengalami kesenjangan.
In Picture: Covid-19 Melonjak, Warga India Berburu Tabung Oksigen
Laju penularan Covid-19 di India memang belum melambat. Pada Kamis (10/6) pekan lalu misalnya, India kembali mencatat rekor global lebih dari 6.000 kematian akibat Covid-19 dalam kurun waktu 24 jam.
Melansir laman The Guardian, tambahan jumlah kematian itu menjadikan total kematian di seluruh negeri menjadi hampir 360 ribu jiwa, dan menjadi tertinggi ketiga di dunia. Rekor dunia sebelumnya adalah 5.527 kematian dalam sehari oleh Amerika Serikat pada 12 Februari.
Pada Rabu (9/6), negara bagian Bihar di bagian timur India mencatat peningkatan jumlah kematian dari sekitar 4.000 menjadi hampir 9.500 setelah meninjau catatan kematian. Pengadilan tinggi Bihar di Patna menuntut audit angka setelah tuduhan bahwa pemerintah daerah menyembunyikan skala infeksi dan kematian.
Seorang pejabat kesehatan di distrik di Bihar mengatakan, kematian yang baru dilaporkan terjadi bulan lalu dan pejabat negara sedang menyelidiki penyimpangan itu. Dia menyalahkan pengawasan pada rumah sakit swasta.
"Kematian ini terjadi 15 hari yang lalu dan baru diunggah sekarang di portal pemerintah. Beberapa rumah sakit swasta akan diambil tindakan," kata pejabat tersebut, yang menolak disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara kepada media.
Pakar kesehatan mengatakan, mereka percaya baik infeksi virus corona dan kematian secara signifikan diremehkan di seluruh negeri sebagian karena fasilitas tes jarang ada di daerah pedesaan, tempat dua pertiga orang India tinggal, dan rumah sakit sedikit dan jarang. Banyak orang jatuh sakit dan meninggal di rumah tanpa dites virus corona.
Tuduhan penyembunyian angka kasus dan kematian Covid-19 juga telah dilontarkan pada pemerintah negara bagian lain setelah lonjakan virus corona baru-baru ini membuat krematorium kewalahan di banyak tempat. Ratusan jasad juga dibuang di sungai atau dikubur di kuburan dangkal.
Dengan pencatatan yang buruk bahkan di waktu normal, banyak ahli meyakini jumlah kematian India beberapa kali lebih tinggi dari jumlah resmi. Ini berarti bisa lebih dari satu juta – yang akan menjadikannya yang tertinggi di dunia. Kecurigaan telah meningkat dengan fakta bahwa tingkat kematian di banyak negara, misalnya di Brasil dan AS, beberapa kali lebih tinggi daripada di India.
Secara keseluruhan, kasus dan kematian di India terus menurun dalam beberapa minggu terakhir setelah melonjak dari pertengahan Maret. Total kasus resmi mencapai 29,2 juta pada Kamis (10/6) setelah naik 94.052 dalam 24 jam sebelumnya, sementara total kematian mencapai 359.676, menurut data dari kementerian kesehatan. The New York Times memperkirakan kematian berdasarkan jumlah kematian dari waktu ke waktu dan tingkat kematian akibat infeksi dan menempatkan korban di India pada 600 ribu hingga 1,6 juta jiwa.
Akibat pandemi, ekonomi India mengalami kontraksi minus 7,3 persen pada tahun fiskal yang berakhir pada Maret. Kondisi memburuk dari kemerosotan yang memangkas pertumbuhan menjadi 4 persen dari 8 persen dalam dua tahun sebelum pandemi melanda. Para ekonom khawatir tidak akan ada rebound yang serupa dengan yang terlihat di Amerika Serikat dan ekonomi utama lainnya.
“Virus corona adalah yang terbaru dari serangkaian pukulan yang menghantam ekonomi India dalam beberapa tahun terakhir,” kata kepala eksekutif di Pusat Pemantauan Ekonomi India (CMIE), Mahesh Vyas.
Vyas menyatakan, guncangan yang ditimbulkan oleh virus corona memiliki efek yang sangat melemahkan ekonomim. Dia khawatir, dampak itu akan bertahan lama.
Orang miskin paling menderita dari pandemi. Namun, Vyas melihat, ini adalah pertama kalinya dalam beberapa dekade kelas menengah India mendapat pukulan besar.
Perkiraan ukuran kelas menengah India bervariasi dari 200 juta hingga 600 juta. Namun, semua ahli sepakat bahwa kemakmurannya sangat penting untuk menghidupkan kembali ekonomi.
“Mereka adalah konsumen utama, jika konsumsi mereka tidak pulih, pertumbuhan akan terus melambat dan ekonomi tidak akan pulih,” kata ekonom Arun Kumar.