Senin 14 Jun 2021 13:57 WIB

PPN Sembako Plus 11 Jenis Jasa dan Dalih Optimalisasi Pajak

Pandemi dinilai jadi kesempatan untuk memikirkan ruang optimalisasi penerimaan PPN.

Red: Andri Saubani
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.
Foto: ANTARA/ADENG BUSTOMI
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Febrianto Adi Saputro

Rencana revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengungkap upaya pemerintah menggenjot optimalisasi penerimaan dari sektor pajak, khususnya pajak pertambahan nilai (PPN). Berbagai jenis kegiatan jasa sampai kebutuhan pokok masyarakat menjadi sasaran pajak.

Baca Juga

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, selama ini pemerintah melakukan pengecualian yang terlalu banyak terhadap objek pajak PPN. Akibatnya, rasio kinerja PPN di Indonesia saat ini yang sebesar 49,35 persen berada di bawah rata-rata Asia sebesar 49,72 persen.

“Jadi, ini bukan kebijakan yang tiba-tiba, tetapi sudah ada kajian yang bertahun-tahun dilakukan. Hanya saja, eksekusi selalu tertunda karena butuh undang-undang sehingga butuh proses politik,” ujarnya saat webinar Arah Kebijakan Pajak Kala Pandemi seperti dikutip Senin (14/6).

Selain Indonesia, menurut dia, beberapa negara yang memiliki C-efficiency ratio di bawah rata-rata Asia, yakni Laos, India, Bangladesh, Pakistan, Filipina, dan Myanmar. Sedangkan Thailand, Vietnam, Singapura, Jepang, Korea, dan Malaysia memiliki kinerja PPN di atas rata-rata.

“Pandemi ini merupakan kesempatan yang baik untuk memikirkan ruang optimalisasi penerimaan PPN,” ucapnya.

Yustinus menjelaskan, saat ini pemerintah telah menuangkan ide optimalisasi penerimaan PPN dalam Rancangan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Adapun beleid tersebut masih berada di tangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan belum bahkan dibacakan dalam sidang paripurna, serta masih akan melalui proses pembahasan pada DPR.

Karena itu, RUU KUP masih dapat memperoleh masukan dari berbagai pihak.

"Jadi, tidak benar kalau dalam waktu dekat akan ada pajak sembako atau jasa pendidikan dan kesehatan besok, lusa, atau bulan depan. Tahun ini tidak akan dipajaki," katanya.

Saat ini, menurut dia, masyarakat sebenarnya menikmati berbagai insentif  perpajakan. Pemerintah tak secara agresif memungut pajak selama pandemi Covid-19.  Yustinus memastikan kebijakan tarif PPN akan tetap menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.

“Peningkatan tarif PPN akan menyasar pada barang-barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas,” ucapnya.

Berdasarkan draf RUU KUP yang kini beredar luas di kalangan wartawan, PPN nantinya tidak hanya dikenakan terhadap kebutuhan pokok masyarakat, tapi juga banyak jenis jasa. Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN.

Merujuk RUU KUP, salah satu yang akan dikenakan PPN adalah jasa layanan rumah sakit mulai dari dokter umum. Pada Pasal 4 UU KUP Ayat (3) yang berlaku saat ini, pelayanan kesehatan medis masuk dalam kategori jasa yang tidak dikenakan PPN.

photo
Komik Si Calus Pajak Sembako. - (republika/daan yahya)

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2012 termasuk dalam jasa pelayanan kesehatan medis, di antaranya jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. Kemudian, jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, ahli fisioterapi, dan jasa dokter hewan.

Selanjutnya, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium jasa psikologi dan psikiater, hingga jasa pengobatan alternatif.

Selain layanan kesehatan medis, jasa lainnya yang dipungut PPN meliputi pelayanan pendidikan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.

Selanjutnya, ada jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, dan jasa tenaga kerja.

Kemudian, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos. Sebelumnya, jasa tersebut masuk dalam kategori jasa bebas pungutan PPN.

Pada kategori jasa bebas PPN dalam RUU KUP, yakni jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering.

"Ketentuan mengenai jenis barang kena pajak tertentu, jasa kena pajak tertentu, barang kena pajak tidak berwujud tertentu, dan tarifnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah," tulis ayat (3) Pasal 7A draf tersebut.

Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Maka demikian, hanya tersisa enam jenis jasa bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengungkapkan tiga pertimbangan rencana pengenaan PPN terhadap barang dan jasa. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, pertama merespons pandemi Covid-19 karena menekan penerimaan kas negara. Padahal, negara harus menggelontorkan dana untuk memberikan insentif pajak dan membiayai pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Kedua tarif PPN Indonesia masih berada pada level 10 persen. Adapun angka ini tergolong rendah dibandingkan negara lain yang menerapkan PPN atau value added tax dan good and services tax.

Ketiga struktur penerimaan dari PPN. Sebab, selama ini PPN memiliki kontribusi 42 persen terhadap penerimaan negara.

“Akhirnya jadi bahan diskusi oleh pemerintah untuk melihat apakah kita bangsa Indonesia bisa menggunakan salah satu opsi PPN sebagai salah satu respons untuk menghadapi situasi sekarang ini,” ujarnya saat media briefing pajak, Senin (14/6).

Menurutnya, jika pemungutan PPN dapat dilakukan secara optimal, pemerintah dapat mengerek penerimaan negara yang dapat digunakan berbagai program pembangunan. Apabila dilaksanakan pengenaan PPN terhadap barang seperti kebutuhan pokok serta pendidikan, tidak akan diberlakukan dengan tarif yang merata.

Pemerintah juga akan menerapkan skema multitarif dengan rentang lima persen hingga 25 persen. Hal ini dilakukan karena pemerintah ingin berlaku lebih adil terhadap masyarakat.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, belum mau berkomentar banyak terkait polemik pengenaan PPN untuk barang dan jasa lainnya sebagaimana tercantum dalam revisi UU KUP. Dasco mengatakan, DPR sampai saat ini belum menerima draf resmi RUU KUP tersebut.

"Kita tunggu draf masuk ke DPR dan nanti kita akan lihat secara keseluruhan dan kita akan bahas," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/6).

Ketua Harian Partai Gerindra itu mengatakan, bocornya wacana pengenaan PPN untuk sembako diduga hanya diambil sebagian. Setelah nantinya draf RUU diterima, DPR akan membahas draf secara keseluruhan.

"Kami akan memberikan komentar yang konkret," ujarnya.

Ia berharap dalam upaya pemulihan ekonomi nasional ini pemerintah tidak membuat kebijakan yang tidak menguntungkan masyarajat. Kendati demikian, ia meyakini pemerintah akan mengedepankan kepentigan rakyat.

"Saya yakin bahwa pemerintah tidak begitu (membuat kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat)," ucapnya.

 

 
photo
Rasio pajak Indonesia rendah dan penerimaan pajak turun - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement