REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemikiran yang berseberangan jika tidak didialogkan, kedua belah pihak akan selalu merasa benar dan menganggap pihak yang berseberangan adalah lawan. Padahal, sesungguhnya tidak begitu, dapat dikatakan itu adalah resonansi yang muncul akibat kedua pihak tidak saling mengomunikasikan secara utuh perspektif masing-masing. Akibatnya, semua terperangkap pada kekhawatiran atau ketakutan bahwa pihak-pihak yang berseberangan akan menjadi penghalang terhadap kebijakan yang akan diberlakukan. Ini perlu di-clear-kan.
Demikian, antara lain, kesimpulan diskusi tentang sekularisme dunia pendidikan yang digelar di gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta Timur, Sabtu (12/6). Diskusi itu didakan oleh ASA (Awak Samo Awak) dan Uhamka.
Hadir dalam diskusi, Wakil Rektor II, Dr Zamah Sari MPd; Dekan FKIP, Dr Desvian Bandarsyah MPd; dan Direktur Utama Sekolah-Sekolah Uhamka, Dr Chandrawaty MPd. Selain itu, Zulfikri Anas dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendikbud, yang juga direktur Indonesia Emas Institute; serta Afrizal Sinaro, anggota Dewan Pertimbangan PP Ikapi dan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI).
Zamah Sari menegaskan bahwa, “Pada satu sisi, kita ingin mengimplementasikan kekuatan spiritual keagamaan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan, namun pada sisi lain kita belum memiliki bukti nyata bahwa pendidikan yang diselengarakan oleh lembaga--lembaga pendidikan yang berbasiskan agama menghasilkan orang-orang yang konsisten menerapkan perilaku religiusnya dalam produk atau hasil pekerjaannya.”
Ia menyebutkan contoh, seorang arsitek jebolan perguruan tinggi keagamaan sangat fasih dengan semua dalil dan menjadi arsitek yang andal dan juga pribadi yang saleh. Namun, ketika dia ikut membangun mal, desain dan peralatan toilet yang digunakan sama sekali tidak dirancang sesuai prinsip thaharah berdasar syariat agama. “Contoh kecil mungkin dikatakan pikiran nyeleneh atau ngawur, tapi contoh ini cukup mewakili perilaku-perilaku lainnya. Hampir di semua sisi kehidupan begitu, dunia pendidikan belum seutuhnya berkontribusi nyata dalam kehidupan,” ujar Zamah Sari dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Zamah menambahkan, untuk itu, “Tantangan kita adalah menunjukkan secara nyata kepada semua pihak bahwa sekolah-sekolah yang kita kelola dan kita bina mampu menghasilkan anak-anak yang cerdas, terampil, profesional, dan berakhlak mulia sebagaimana gambaran profil manusia terdidik yang sesungguhnya, yang sering disebut insan kamil. Di sinilah kita perlu merancang kurikulum dan pembelajaran yang benar-benar mengondisikan setiap anak didik menyadari bahwa sebagai manusia, hamba Allah, kita adalah makhluk yang berpikir, bernalar, kritis, sekaligus pribadi beriman yang kehadirannya membawa keselamatan bagi dirinya, keluarganya, orang-orang di sekitarnya, bangsa, negara, dan agamanya. Ini terlihat ambisius, namun kita harus punya cita-cita luhur yang didukung oleh target yang jelas dan program nyata yang dapat diimplementasikan melalui setiap aktivitas pembelajaran.”
“Mengutuhkan pendidikan dengan mempertemukan ilmu pengetahuan dengan iman tidak mudah, namun perlu kita ingat pendidikan sekuler berpeluang menghasilkan orang-orang fundamentalis (radikal) pada kedua pihak, baik pihak kiri maupun kanan, dan keduanya berpontensi menghambat kemajuan suatu bangsa,” ujarnya menegaskan.
Sejalan dengan itu, Desvian Bandarsyah menegaskan bahwa mengutuhkan pendidikan dengan menyatukan ilmu pengetahuan dengan agama jangan sampai berlangsung secara instan. Semua harus berproses secara natural sebagaimana manusia yang berpikir dan bernalar.
“Kita tidak bisa menggunakan dalil-dalil agama secara langsung begitu saja, lalu semua peristiwa di alam dan kehidupan diarahkan langsung pada sunnatulah. Cara-cara instan seperti itu justru membuat orang tidak berpikir rasional, bahkan mungkin dia seperti membabi buta dan menggunakan dalil-dalil untuk memaksakan kehendaknya sendiri. Hal ini tidak membuat anak menjadi cerdas,” ungkapnya.
Menurutnya, kehidupan ini dipenuhi paradoks-paradoks yang “yang menuntut kita harus benar-benar sadar dalam melakukan sesuatu, apalagi ini menyangkut masa depan anak-anak, masa depan bangsa, dan kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Di satu sisi, kita bisa mengeklaim diri sebagai lembaga pendidikan yang berbasiskan agama, namun di sisi lain kita seperti bermusuhan dengan sesama atas dasar perbedaan pandangan. Sementara itu, kita sendiri belum mampu membuktikan secara nyata bahwa kita memang benar-benar telah menerapkan sesuai dengan kaidah pendidikan yang sesungguhnya. Inilah tantangan kita dan kita harus siap menjawabnya.”
Sebagai pengajar senior dalam bidang pendidikan anak usia dini, Chandrawaty menegaskan bahwa dunia pendidikan adalah dunia anak, milik mereka sepenuhnya. Untuk itu, setiap program pembelajaran diterapkan, seyogiyanya benar-benar mengakomodasi kebutuhan mereka sebagai anak-anak. Cara-cara instan mendidik mereka justru akan merusak mereka.
“Salah satu hal terpenting adalah bagaimana cara kita membuat mereka belajar dan melakukan kegiatan melalui keceriaan, keindahan, dan harmoni,” kata Chandrawaty.
Untuk itu, pendidikan ini tidak dapat dilepaskan dari etika dan estetika. Etika dan estetika ini harus menjadi bahagian tak terpisahkan, khususnya estetika (seni), bukan sekadar mata pelajaran, melainkan menyangkut kehalusan budi dan harmoni. “Hal ini harus menjadi perhatian bagi pendidikan pada masa-masa awal anak dididik, dan pendidikan usia dini itu berlangsung sampai anak usia delapan tahun.
Zulfikri Anas, penulis buku Sekolah, Kurikulum, dan Guru untuk Kehidupan menegaskan bahwa pembelajaran akan efektif apabila menghadirkan dunia nyata dalam setiap aktivitas anak-anak. Suasana belajar harus mendorong munculnya kesadaran penuh dari dalam diri anak bahwa dunia ilmu pengetahuan atau dunia akademis-ilmiah dengan kehidupan nyata merupakan satu kesatuan yang utuh. Pembelajaran yang dilakukan selama ini berupa penyampaian materi-materi kurikulum secara tuntas, dan masing-masing mata pelajaran berjalan sendiri-sendiri mengejar target kurikulum justru menggerus sisi-sisi kemanusiaan anak.
Menurutnya, proses yang demikian dapat dikatakan sebagai dehumanisasi yang mengasingkan anak dari dirinya sendiri dan kehidupan secara keseluruhan. Semua peristiwa dan semua persoalan yang dihadapi di dunia nyata tidak dapat diselesaikan melalui cara berpikir parsial, tidak satu pun persoalan yang dapat diselesaikan dengan satu ilmu. Untuk itu, pembelajaran berbasis aktivitas nyata yang mengolaborasikan setiap disiplin ilmu akan efektif, "Saatnya kita meninggalkan pembelajaran berbasis mata pelajaran."
“Melalui pembelajaran kolaboratif, anak akan menemukan makna untuk apa ia belajar, dan secara alamiah ia akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah alat untuk mengenal dunia, menhadapi persoalan, menguasai ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya mereka akan sampai pada kesadaran penuh bahwa dia adalah hamba Allah yang bertanggung jawab penuh akan kemaslahatan hidupnya, baik di dunia maupun akhirat,” ujar Zulfikri.
Afrizal Sinaro yang juga ketua Yayasan Perguruan Al-Iman menyatakan, perlunya kesiapan dunia perbukuan mendukung pembelajaran yang benar-benar memanusiakan manusia dan menyadarkan setiap anak bahwa dia adalah khalifah di muka bumi, makhluk yang paling bijak. Untuk itu, buku-buku pelajaran, terutama di sekolah-sekolah Islam, seperti binaan Uhamka ini, perlu dirancang secara khusus dan tidak terperangkap dalam pemikiran sekuler, parsial, yang terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu.
“Ini tantangan kita, jika kita tidak mampu membuktikan bahwa pendidikan bernapaskan agama, khusus Islam adalah solusi terbaik untuk keluar dari berbagai kemelut dan gejolak, serta ketertinggalan bangsa ini, maka selamanya kita akan bergelut dengan persoalan yang sama,” ujarnya.
Untuk itu, kata Afrizal, diskusi-diskusi seperti ini harus dilakukan secara berkala, intensif, dan melibatkan pelaku pendidikan, seperti dosen, guru, kepala sekolah, dan semua pihak terkait. “Apalagi, Uhamka ini sangat berpotensi menghasilkan para pendidik yang profesional dan religius. Sebagainya cita-cita kita bahwa perilaku religius itu tecermin dalam peribadi dan hasil kerja para pendidik,” katanya menegaskan.