REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Kelompok Save the Children mengatakan sekitar 103 sekolah dan fasilitas pendidikan di Myanmar menjadi target serangan pada Mei lalu. Hal itu menimbulkan kekhawatiran di tengah gejolak yang terus berlanjut pasca-kudeta militer pada awal Februari.
Save the Children mengatakan alat peledak improvisasi dan granat tangan digunakan dalam sebagian besar serangan. “Kami terkejut dengan serangan-serangan ini, yang tidak hanya membahayakan nyawa anak-anak, tetapi juga lebih jauh membahayakan apa yang sudah menjadi situasi bencana ketika menyangkut pembelajaran anak-anak di Myanmar,” katanya dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Aljazirah, Senin (14/6).
Mereka menekankan sekolah adalah tempat belajar yang terlindung bagi anak-anak. Oleh sebab itu, ia harus terbebas dari serangan setiap saat. “Serangan terhadap sekolah merupakan pelanggaran berat terhadap anak-anak, dan tidak boleh ada sekolah yang sengaja dijadikan sasaran,” kata Save the Children.
Save the Children menyebut tak ada informasi kredibel tentang siapa yang bertanggung jawab di balik serangan-serangan tersebut. Badan PBB untuk anak-anak, Unicef, juga mencatat peningkatan jumlah ledakan di sekolah, fasilitas pendidikan, dan kantor. Mereka menegaskan hal itu tak dapat diterima.
“Sekolah dan fasilitas pendidikan lainnya harus dilindungi dari konflik dan kerusuhan. Penyerangan terhadap tempat-tempat belajar dan staf pendidikan serta pendudukan fasilitas pendidikan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak,” kata kantor Unicef di Myanmar.