Selasa 15 Jun 2021 06:58 WIB

OJK: Restrukturisasi Kredit Terus Turun Jadi Rp 775 Triliun

Restrukturisasi kredit perbankan berasal dari 5,29 juta debitur.

Rep: Novita Intan/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas merapikan susunan produk UMKM yang ditawarkan di Paviliun Sumatera Utara Gedung SMESCO, Jakarta. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan OJK akan terus mengidentifikasi sektor bisnis yang masih berat akibat dampak pandemi Covid-19.
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Petugas merapikan susunan produk UMKM yang ditawarkan di Paviliun Sumatera Utara Gedung SMESCO, Jakarta. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan OJK akan terus mengidentifikasi sektor bisnis yang masih berat akibat dampak pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai restrukturisasi kredit di bawah Rp 800 triliun per April 2021. Adapun angka ini terus mengalami penurunan sejak awal 2021.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan OJK akan terus mengidentifikasi sektor bisnis yang masih berat akibat dampak pandemi Covid-19.

Baca Juga

“Restrukturisasi kredit perbankan yang sebelumnya di angka Rp 900 triliun saat ini sudah di bawah Rp 800 triliun,” ujarnya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, dikutip Selasa (15/6).

Secara rinci, restrukturisasi kredit perbankan sebesar Rp 775,32 triliun yang berasal dari 5,29 juta debitur. Adapun jumlah tersebut terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM sebesar Rp 299,15 triliun dari 3,71 juta debitur dan non UMKM sebesar Rp 476,16 triliun dari 1,58 juta debitur.

Berdasarkan sektornya, porsi restrukturisasi terhadap kredit yang paling besar berasal dari sektor real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan sebesar 28,63 persen. Porsi diikuti perdagangan besar dan eceran sebesar 20,54 persen, konstruksi sebesar 18,59 persen, dan transportasi, pergudangan, dan komunikasi sebesar 14,53 persen.

"Ini sudah Rp 775,32 triliun. Artinya yang tadinya Rp 900 triliun sebagian sudah menjadi normal. Tapi memang tidak semuanya, ada yang berat," ucapnya.

Wimboh menjelaskan sektor-sektor yang masih berat terutama sektor yang sangat bergantung dengan mobilitas di antara yang lambat atau mungkin tidak bergerak sama sekali adalah sektor yang terkait dengan pariwisata mancanegara.

Menurutnya, sektor tersebut memiliki segmen tersendiri dan bukan konsumsi turis domestik. Sehingga dikhawatirkan berpotensi menjadi zombi company.

"Kami identifikasi terus sektor-sektor itu dan player-nya. Sektor itu dan player-nya sekarang hanya bagaimana sekedar bisa bertahan dan jangan diharapkan sektor itu bisa menyerap kredit yang cukup besar karena memang tidak perlu," jelasnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement