Selasa 15 Jun 2021 06:49 WIB

Markis Kido dan Salam Perpisahan di Lapangan Bulu Tangkis

Kido meraih emas ganda putra Olimpiade 2008 bersama Hendra Setiawan.

Markis Kido (kanan).
Foto: REPUBLIKA/Israr Itah
Markis Kido (kanan).

Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Markis Kido adalah sosok langka dari Indonesia. Dia salah satu dari 11 olahragawan, semuanya pebulu tangkis, yang berhasil mempersembahkan emas Olimpiade untuk Merah-Putih. Pada Olimpiade Beijing, China, Kido meraih emas ganda putra berpasangan dengan Hendra Setiawan. Raihan emas Olimpiade itu ia dapat pada 16 Agustus 2008, lima hari setelah ulang tahunnya yang ke-24. 

Baca Juga

Kido sudah menunjukkan bakat besar di bulu tangkis sejak junior. Jebolan klub Jaya Raya ini menyumbang medali untuk Indonesia di sejumlah kejuaraan junior, mulai 2000 sampai 2002. Ia mendapatkan empat perunggu, masing-masing dua pada Kejuaraan Junior Dunia 2000 di Kuala Lumpur, Malaysia, dan 2002 di Pretoria, Afrika Selatan. Pada Kejuaraan Junior Asia, Kido meraih satu perak di Kyoto, Jepang pada 2000 dan dua emas serta satu perunggu di Kuala Lumpur pada 2002.

Pada 2003, ia sudah mentas di level senior bersama Hendra. Ia membantu tim putra Indonesia meraih emas SEA Games 2003 di Vietnam. Pada tahun yang sama, Kido/Hendra menjadi runner-up Kejuaraan Asia yang digelar di Jakarta.

Sisanya goresan tinta emas prestasi. Puncaknya tentu saja pada 2008 saat berhasil meraih emas Olimpiade. Ditambah dua tahun berselang merebut emas Asian Games di Guangzhou, China.

Saya beruntung sempat bersinggungan dengan Kido setelah keluar dari Pelatnas PBSI Cipayung pada 2009. Meski tidak intens, saya sempat beberapa kali mewawancarai langsung Kido dan Hendra. Termasuk ketika mereka berlatih mandiri di salah satu arena bulu tangkis di Condet, Jakarta Timur. Bisa jadi saya bukan satu-satunya wartawan, tapi saya yakin tak banyak yang menyambangi mereka kala itu di sana.

Dari beberapa pertemuan singkat itu, saya mendapatkan kesan Kido sosok yang ekspresif, humoris, ramah, dan terkadang meledak-ledak. Selalu ada tawa darinya, mulai dari candaan ringan, sampai hasil trik-triknya di lapangan yang mengelabui mitra latih.

Saya sempat terperangah ketika dalam satu momen Kido seolah hendak mengambil bola net dan mengembalikannya jauh ke belakang. Namun dalam sepersekian detik, gerakannya berubah menjadi membalas netting dengan menempatkannya secara menyilang dan jauh dari jangkauan mitra tandingnya. 

Kontan, tawa pecah di antara mereka setelah penempatan shuttlecock itu berbuah poin. Saya pun spontan bertepuk tangan. Saya tidak bisa mengingat semua mitra tanding yang meladeni Kido/Hendra di Condet, kala itu. Namun salah satunya adalah Hendra Aprida Gunawan, meski ini pun saya tak bisa pastikan 100 persen.

Yang pasti saya ingat, Kido/Hendra Setiawan bermain melawan tiga orang di seberang lapangan mereka. Wajar, karena tak mungkin dua pebulu tangkis non-Pelatnas ujug-ujug bisa mengimbangi permainan pasangan yang baru juara Olimpiade.

Kido dan Hendra jadi pasangan serasi. Hendra menutupi segala kekurangan Kido di lapangan, maupun di luar. Mereka saling mengisi. Hendra pengatur serangan yang andal, sementara Kido tukang gebuk yang eksplosif. Tak banyak yang sanggup bertahan lama dari jumping smash Kido yang bertubi-tubi pada masa jayanya.

Sayang, karier cemerlang Kido/Hendra tak bertahan lama. Hipertensi yang diderita Kido ditengarai menjadi salah satu penyebab. Kondisi fisiknya perlahan tak bisa lagi bersaing di level atas. Kido berpisah dengan Hendra pada 2012 dan selanjutnya hanya bermain di turnamen level kecil. Sementara Hendra kembali ke Pelatnas dan dipasangkan dengan Mohammad Ahsan.

Saat Hendra masih bermain dan menempati ranking dua dunia bersama Ahsan, Kido menjalani profesinya sebagai pelatih di klub tempatnya dibesarkan, Jaya Raya. Dalam beberapa kesempatan, mereka masih bertemu. Apalagi Hendra juga merupakan jebolan Jaya Raya.

Sekarang, keduanya tak akan pernah lagi bersua. Sebab pada Senin (14/6) malam, Kido dipanggil Sang Pencipta. Kido tumbang saat bermain bulu tangkis bersama sejumlah mantan pemain top Indonesia di GOR Petrolin, Alam Sutera, Tangerang. Ia diberikan pertolongan pertama oleh Candra Wijaya dan orang-orang lain di sekitar sana, kemudian segera dilarikan ke RS Omni Alam Sutera. Namun sesampainya di rumah sakit, Kido dinyatakan sudah tiada.

Hendra menyampaikan duka mendalam. Ia menyebut Kido mitra terbaiknya di lapangan. Sementara ibunda Kido, Zul Asteria, merasa anak sulungnya benar-benar tidak bisa dipisahkan dari lapangan bulu tangkis. Bagi Zul, hidup dan mati anaknya ada di sana. Dalam artian sebenar-benarnya.

Kido pergi, tapi prestasi emasnya akan selalu dikenang. Sebab, legenda sejatinya tak akan pernah mati. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement