REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mengeluarkan aturan terkait penggunaan aset kripto, bitcoin, dan lain sebagainya. Nantinya aturan ini akan dibahas bersama Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas mengenai aset kripto. "Indonesia membutuhkan regulasi yang pasti mengenai aset kripto. Kami sudah bicara dengan menteri perdagangan agar segera melakukan, ini kejelasannya bagaimana dan itu (kripto) mestinya harus diatur dalam undang-undang yang secara jelas," ujarnya saat rapat bersama Komisi XI DPR, seperti dikutip Selasa (15/6).
Meskipun Bappebti memberikan izin perdagangan aset kripto sebagai komoditas, Bank Indonesia (BI) tidak mengakuinya sebagai mata uang. Saat ini, mata uang yang sah digunakan sebagai alat transaksi adalah rupiah.
"Belum ada regulasi yang jelas mengenai kripto ini, tapi dari Bappebti mengatakan ini tergolong komoditas sehingga nanti mestinya kami bersama-sama duduk bersama bagaimana pengaturan ke depannya," ucapnya.
Wimboh menggambarkan pengaturan aset kripto hendaknya serupa dengan perdagangan di pasar modal. Setidaknya, perdagangan kripto memiliki self regulatory organizations (SRO), settlement transaksi, hingga kaidah perlindungan konsumen.
“Hal tersebut diperlukan karena perdagangan aset kripto sangat fluktuatif. Itu barangkali belum ada karena ini sudah telanjur banyak diperdagangkan di pasar," ungkapnya.
Menurutnya, sejumlah negara resmi melarang transaksi aset kripto. Sedangkan, sebagian negara melegalkannya maupun memilih tidak melarang alias tidak melegalkan.
“Beberapa negara ini masyarakatnya sudah well literated (literasinya sektor keuangan bagus) sehingga kalau hilang duitnya diam saja, tidak pernah komplain. Tapi, kalau di Indonesia kayaknya beda sehingga ini pelu kami duduk bersama,” ucapnya.