REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pengadilan Mesir menguatkan vonis hukuman mati bagi 12 tokoh Ikhwanul Muslimin. Vonis itu bagian dari sidang massal ratusan orang atas demonstrasi anti-pemerintah tahun 2013.
Pendukung Muhammad Morsi dari Ikhwanul Muslimin menggelar unjuk rasa besar-besaran di Kairo setelah militer menggulingkan presiden pertama yang terpilih secara demokratis itu. Pada Agustus 2013, pasukan Mesir melepaskan tembakan untuk membubarkan massa.
Amnesty International mengatakan peristiwa tersebut menewaskan setidaknya 900 orang dan melukai ribuan lainnya. Pada 2018, pengadilan Mesir memvonis 75 pendukung Morsi hukuman mati dalam sidang yang menurut organisasi hak asasi manusia sama sekali tidak adil.
Sebanyak 739 orang disidang karena berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut. Sisa terdakwa lainnya menjalani hukuman penjara termasuk putra Morsi.
Pemerintah Mesir saat ini yang dipimpin Abdel Fattah al-Sisi menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris. Morsi yang dipenjara sejak digulingkan, meninggal dunia saat di sidang pada 2019 lalu.
Politisi Ikhwanul Muslimin Mohamed el-Beltagy dan ulama Salafi Safwat Hegazy termasuk orang-orang yang didakwa hukuman mati. Pada Selasa (15/6), Al-Monitor melaporkan Pengadilan Banding Mesir mempertahankan vonis hukuman mati mereka. Sementara hukuman 31 orang lainnya dikurangi.
Direktur advokasi dan penelitian wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International Philip Luther mengatakan hukuman mati itu sebagai 'noda bagi pengadilan tertinggi Mesir' yang 'akan membayangi seluruh sistem peradilan negara itu'. Ia meminta Mesir segera moratorium eksekusi hukuman mati.
Ia juga mendesak Kairo agar meminta pertanggung jawaban bagi pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian tahun 2013. Amnesty International mengatakan pada 2020 angka eksekusi hukuman mati di negara Afrika Utara naik tiga kali lipat. Organisasi hak asasi manusia itu mengatakan pada tahun ini, Mesir sudah menghukum mati sekitar 51 orang.