REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana memasukkan pembahasan mata uang kripto di lingkungan Kementerian Keuangan, KSSK serta dalam forum G20 mendatang. Terlebih, mata uang digital ini hanya berangkat dari individual, atau tidak dari seluruh negara di dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan jika melihat fenomena di dunia, ada beberapa negara melakukan piloting atau uji coba seperti di China. Di suatu daerah yang belum meluas secara nasional, pemerintah China bahkan mencoba mewacanakan mengubah transaksi dari fisik menjadi digital.
"Karena jumlah uang beredar menentukan dinamika ekonomi suatu negara apakah akan terjadi inflasi, aset bubble. Ini akan jadi satu isu yang terus dibahas, Kami (KSSK), forum G20, antara bank sentral ini akan jadi fenomena yang akan dibahas," ujarnya saat Webinar Seri II: Kebijakan Pemerintah, Peluang, Tantangan, dan Kepemimpinan Masa dan Pasca Pandemi Covid-19 seperti dikutip Rabu (16/6).
Namun menjadi persoalannya, lanjut Sri Mulyani setiap negara yang berkedaulatan menetapkan bank sentral sebagai penguasa atau yang memiliki power dari negara untuk mengatur mata uang. Di Indonesia sendiri masih menggunakan uang fisik atau kertas sebagai alat transaksi pembayaran yang sah.
Sementara Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menambahkan mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah. Hal ini seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Bank Indonesia, juga Undang-Undang Mata Uang. "Apa yang istilahnya crypto currency atau kripto apa sesuai juga pak ketua (OJK) tahu betul bahwa itu bukan merupakan alat pembayaran yang sah," ucapnya.
Pihaknya bahkan melarang seluruh lembaga-lembaga keuangan apalagi yang bermitra dengan Bank Indonesia agar tidak memfasilitasi atau menggunakan kripto sebagai pembayaran ataupun alat servis jasa keuangan.
"Kami akan menerjunkan pengawas-pengawas untuk memastikan lembaga keuangan mematuhi ketentuan-ketentuan yang sebelumnya sudah digariskan UU mata uang," jelasnya.