REPUBLIKA.CO.ID, KOMINPRO--Penggunaan bahan tanaman sebagai obat herbal telah banyak dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu kala. Tradisi menggunakan tanaman sebagai obat herbal juga telah dituliskan pada naskah – naskah kuno dan dalam buku Formularium Ramuan Etnomedisin Obat Asli Indonesia yang diterbitkan berseri sebanyak 3 volume oleh BPOM.
Hingga saat ini, masih banyak diantara masyarakat terutama yang hidup di wilayah terpencil menggunakan tanaman yang tumbuh disekitarnya sebagai obat herbal untuk mengatasi penyakit tertentu. Sayangnya penggunaan tanaman sebagai herbal tersebut seringkali tidak diikuti oleh kaidah atau cara penggunaan yang benar.
Derasnya informasi terkait dengan penggunaan tanaman untuk kesehatan baik yang bersumber dari media resmi yang valid hingga informasi dari media sosial yang terkadang mengandung unsur hoaks, menjadikan masyarakat perlu untuk diberikan pemahaman terkait penggunaan bahan tanaman sebagai obat herbal.
Oleh karena itu, tim Pengabdian Kepada Masyarakat Farmasi FMIPA Unisba mengadakan penyuluhan kepada para petani nanas dibawah pengelolaan Kebun Indonesia Berdaya desa Cirangkong Kecamatan Cijambe, Subang dengan judul Pemanfaatan Tanaman Sekitar Sebagai Obat Herbal untuk beberapa Penyakit berbasis penggunaan Empiris.
Pelatihan ini diselenggarakan pada tanggal 10 Juni 2021 bertempat di kebun Indonesia Berdaya Cirangkong Cijambe Subang dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Materi penyuluhan meliputi dua materi pokok yakni terkait enam aspek penting penggunaan tanaman sebagai obat herbal serta informasi ramuan herbal berdasarkan penggunaan empiris hasil kajian etnomedisin.
Ketua Tim PKM, apt. Indra Topik Maulana, M.Si., menuturkan, penggunaan empiris yaitu penggunaan tanaman untuk tujuan pengobatan yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara turun temurun oleh suatu kelompok atau etnis masyarakat tertentu. “Sebagian besar tanaman yang digunakan secara empiris adalah tanaman yang biasa tumbuh di lingkungan sekitar dan banyak dijumpai oleh masyarakat. Penggunaan secara empiris seperti diketahui merupakan salah satu syarat suatu bahan tanaman dapat dibuat menjadi sediaan obat tradisional yaitu golongan jamu,” jelasnya.
Herbal meskipun menggunakan tanaman sebagai bahan utamanya kata Indra, namun pada saat digunakan sebagai obat tetap memiliki potensi munculnya efek samping. Untuk menghindari munculnya efek samping tersebut menurutnya, maka pada penggunaan tanaman sebagai herbal perlu memperhatikan enam aspek penting diantaranya adalah tepat takaran dosis, tepat kondisi saat penggunaan, tepat cara pengolahan atau penggunaan, tepat pemilihan bahan yang sesuai, tepat indikasi, dan tepat telaah informasi.
Indra mengatakan, dosis tanaman herbal sangat menentukan efektifitas pengobatan. Apabila dosis yang digunakan terlalu rendah, maka herbal tidak akan menghasilkan efek yang diharapkan. Namun apabila dosis terlalu tinggi, maka akan menghasilkan efek samping yang merugikan. Kondisi tubuh seseorang juga sangat menentukan efektifitas penggunaan herbal. Setiap tanaman diketahui memiliki kandungan kimia yang khas yang mampu mempengaruhi fungsi fisiologi tubuh manusia. Kandungan kimia tersebut ada yang meningkatkan efektivitas pengobatan, namun ada juga yang justru menimbulkan efek samping.
“Sebagai contoh, jahe merupakan salah satu jenis rimpang yang sudah banyak digunakan baik sebagai minuman kesehatan ataupun pengobatan. Jahe diketahui mengandung xanthorrhizol yang telah terbukti memiliki aktivitas antiinflamasi. Oleh karena itu jahe banyak digunakan untuk mengatasi pegal linu, nyeri, batuk, aterosklerosis, dan beragam penyakit yang memiliki keterkaitan dengan proses inflamasi. Namun, efek antiinflamasi ini ternyata juga dapat mempengaruhi proses penetralan asam lambung (HCl), sehingga penggunaan jahe yang tidak teratur dapat meningkatkan resiko tukak lambung,” katanya.
Pengolahan bahan tanaman juga kata Indra, diketahui dapat mempengaruhi efektivitas penggunaan tanaman sebagai obat. Pengolahan bahan tersebut meliputi pencucian bahan dengan air mengalir, perajangan, proses pengolahan seperti penggodogan atau pengolahan lain tergantung tujuan penggunaannya.
“Proses pencucian yang benar yakni dengan menggunakan air mengalir dapat meminimalisir kandungan bakteri baik patogen maupun non patogen. Perajangan atau mengecilkan ukuran bahan berfungsi untuk mempercepat keluarnya senyawa kimia aktif dari bahan. Adapun proses pengolahan bahan sangat tergantung dari tujuan penggunaan dan karakteristik kandungan senyawa bahan. terkait tujuan penggunaan, maka pengolahan bahan dapat bermacam – macam seperti digodog, diseduh, diparut dan proses lainnya. Adapun penggunaanya ada yang dengan cara diminum, dioles, ditempel pada bagian tubuh yang membutuhkan perawatan, serta cara lainnya,” katanya.
Indra mengungkapkan, pemilihan bahan yang digunakan sebagai herbal tentunya harus tepat. Banyak tanaman yang memiliki morfologi yang mirip seperti bentuk, warna, dalam hal penamaan setiap daerah, dan hal lainnya.
“Sebagai contoh, buah jarak kepyar memiliki bentuk dan warna yang mirip dengan buah rambutan. Daun kumis kucing juga memiliki bentuk yang mirip dengan teklan. Contoh lainnya, kita mengenal lempuyang sebagai salah satu jenis rimpang. Lempuyang sendiri ternyata memiliki tiga jenis yaitu lempuyang wangi yang biasa digunakan untuk diet, lempuyang gajah dan lempuyang pahit yang digunakan untuk meningkatkan nafsu makan,” katanya.
Lebih jauh Indra mengatakan, dalam hal tepat indikasi dan tepat telaah informasi, pemilihan bahan herbal harus disesuaikan dengan tujuan pengobatan. Setiap tanaman dengan kandungannya yang khas juga memiliki aktivitas yang khas terhadap tubuh manusia.
“Sebagai contoh, bawang putih yang mengandung senyawa khas yaitu alisin yang dapat menghambat pembentukan kolesterol sehingga digunakan sebagai antihiperkolesterolemia. Contoh lainnya Seledri yang mengandung senyawa khas apiin. Senyawa tersebut diketahui mampu memvasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat digunakan sebagai antihipertensi,” paparnya.
Derasnya arus informasi di media sosial khususnya terkait penggunaan tanaman sebagai herbal menjadikan masyarakat harus jeli dan mampu menyaring dan memilah antara informasi yang benar dan informasi yang keliru atau hoaks. Oleh karena itu, peserta pelatihan juga dilatih untuk pandai menyaring dan memilih informasi yang tepat terkait penggunaan tanaman sebagai herbal yakni melalui buku – buku resmi yang dikeluarkan oleh instansi berwenang seperti BPOM, website resmi, bahkan peserta pelatihan juga dilatih bagaimana menjaga diri mereka dari penggunaan jamu palsu yang marak beredar di pasaran melalui dua cara yaitu pengenalan ciri dari jamu palsu dan memeriksa langsung nomor izin edar (NIE) produk jamu di website cekbpom.pom.go.id.