REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berupaya untuk mengejar target penerimaan negara di tengah pandemi Covid-19. Adapun target penerimaan negara sebesar Rp 1.823,5 triliun sampai Rp 1.895,9 triliun atau naik 4,57-8,73 persen dari proyeksi tahun ini sebesar Rp 1.743,65 triliun.
Target penerimaan tersebut setara 10,18 persen sampai 10,44 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini pihaknya bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak berupaya agar seluruh perusahaan digital mau membayar pajak, meskipun belum memiliki kantor di Indonesia.
“Ini yang kami dengan Dirjen Pajak menyiapkan hal itu, debatnya negosiasi secara internasional akan menyangkut omzet, persentase yang boleh dibagi, threshold-nya. Kita punya daya tawar, tapi juga memperjuangkan,” ujarnya saat webinar seperti dikutip Rabu (16/6).
Sri Mulyani menyebut risiko global juga akan mempengaruhi fiskal pemerintah. Menurutnya pemerintah juga waspada mengenai kenaikan jumlah utang.
“Pertama, seluruh dunia memahami sesudah Cobid-19, ikhtiar untuk menaikkan penerimaan pajak. Namun perusahan-perusahaan ini mudah sekali yang digital meng-avoid pajak, dia pindah ke yurisdiksi yang tax ratenya rendah,” ucapnya.
Dari sisi eksternal, lanjut Sri Mulyani ada masalah lain setelah G7, negara PDB terbesar di dunia, sepakat untuk mengenakan pajak perusahaan global digital. “Debatnya dan negosiasi dengan internasional itu menyangkut threshold company-nya, omzetnya, persentase yang boleh dibagi. Ini akan menjadi debat,” katanya.
Sri Mulyani menjelaskan apabila suatu perusahaan global digital memperoleh pendapatan 100, pajaknya akan dibagi antara lokasi kantor pusat korporasi berasal dan tempat penghasilan. “Pasti 100 ini dibagi antara berbagai negara itu. Jadi sekarang ini negosiasi yang cukup alot adalah berapa yang harus dibayar yurisdiksi pajak yang mana,” jelasnya.
Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asean, terang Sri Mulyani, mempunyai daya tawar yang harus diperjuangkan. Hal itu karena selama itu perusahaan yang tidak memiliki kantor di Tanah Air memperoleh keuntungan cukup besar.
“Mereka mencari tempat dengan pajak penghasilan perusahaan yang lebih rendah. Jadi Indonesia mendapat tekanan juga. Kenapa? Karena corporate income tax kita ter-preasure. Kalau pajak kita tinggi, mereka pindah yurisdiksi sehingga kita kehilangan base erotion,” ucapnya.
Sementara itu Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Atong Soekirman menambahkan pemerintah berupaya untuk menggenjot penerimaan parpajakan. Dia menilai, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tidak mendesak dilakukan.
"Jadi tidak perlu revisi PP109/2012 dilanjutkan, karena memang industri kita, khususnya industri hasil tembakau (IHT) yang adalah industri padat karya ada beberapa yang menggunakan banyak tenaga kerja," kata dia.
Apalagi, menurutnya, IHT yang sangat berkaitan dengan PP 109/2012 tersebut tengah tertekan secara ekonomi akibat pandemi Covid-19. Maka jika aturannya terus berubah, akan menyulitkan industri tersebut untuk tumbuh.
"Karena ada berbagai persepsi tadi, industri revenue, pajak untuk pembangunan, isu kesehatan, isu petani tembakau ini, kami di Kemenko Ekon (Perekonomian) tidak memandang ini urgent," ucapnya.
Atong menekankan industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja atau padat karya. Jika industri ini tertekan tentu akan berpengaruh juga secara langsung bagi para tenaga kerja yang terhubung dengan IHT. Melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN), menurutnya, pemerintah juga tengah mendorong agar utilisasi sektor industri termasuk IHT kembali mengalami peningkatan.
"Jadi pro dan kontranya cukup tinggi namun karena kondisi pandemi Covid dan upaya pemerintah ini sedang pemulihan ekonomi nasional kami di Kemenko Ekonomi memandang masih belum urgen untuk merevisi PP 109/2012,” ucapnya.