REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Salah satu peristiwa besar yang ditunggu-tunggu warga Muhammadiyah adalah muktamar. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan muktamar merupakan “permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat”.
Awalnya, tepatnya di masa kolonial Hindia Belanda, muktamar disebut sebagai kongres, dengan kegiatan utamanya adalah openbare vergadering (pertemuan terbuka) yang dihadiri oleh berbagai utusan cabang dan ranting Muhammadiyah. Muktamar adalah satu dari beberapa kesempatan ketika anggota dan simpatisan Muhammadiyah yang pada hari biasanya terpisah bisa bertemu, saling mengenal, berbincang-bincang, dan pada akhirnya mengambil keputusan besar.
Arena muktamar juga kerap diramaikan oleh berbagai aktivitas yang melibatkan warga kota yang lebih luas, misalnya dengan pameran produk, pertunjukan kesenian dan pertandingan olahraga. Muktamirin (peserta muktamar), para penggembira muktamar, serta warga yang kotanya berkesempatan menjadi tuan rumah muktamar Muhammadiyah adalah komponen-komponen inti yang membuat muktamar ramai dan meriah.
Tapi, ada komponen muktamar lainnya yang tak kalah pentingnya, namun jarang disebut. Mereka adalah para jurnalis dan media mereka.
Sudah bisa dipastikan bahwa wartawan Suara Muhammadiyah selalu hadir dalam kongres Muhammadiyah dan kemudian melaporkannya dalam majalah mereka. Di samping jurnalis internal ini, ada para kuli tinta dari media cetak di luar Muhammadiyah.