REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bentuk paling umum dari peperangan Ottoman adalah pengepungan dan penyerangan kecil-kecilan di sepanjang perbatasan kerajaan. Pertempuran lapangan sangat jarang, tetapi ketika hal itu terjadi, sering kali hasilnya sangat menentukan.
Pertempuran Varna pada 1444 menentukan Ottoman, bukan Hungaria, yang menjadi kekuatan dominan di Semenanjung Balkan. Penaklukan Ottoman di Syria dan Mesir pada 1516 dan 1517 adalah hasil dari dua peperangan di Marj Dabiq dan Raydaniyya. Pertempuran Mohács pada 1526 mengakhiri kemerdekaan dari kerajaan Hungaria.
Colin Imber dalam Kerajaan Ottoman: Struktur Kekuasaan Sebuah Kerajaan Islam Terkuat dalam Sejarah mengatakan formasi yang digunakan pasukan Ottoman di medan perang tampaknya tetap, dalam esensinya. Formasi ini tidak berubah antara akhir abad ke-14 dan akhir abad ke-16.
Formasi ini sangat ditentukan oleh satu pasukan kavaleri dengan pembagian kavaleri Anatolia dan Rumelia yang ditempatkan terpisah di masing-masing sisi. Di bagian tengah berdiri para janissari, yang juga menjaga sultan, jika ia memimpin langsung pasukannya.
Walaupun terdapat pasukan infantri, janissari yang lebih sedikit jumlahnya adalah inti dari garis pertempuran Ottoman. Situasi saat Ottoman mendekati kekalahan pada peperangan dengan Hungaria di pertengahan abad ke-15 memacu mereka meningkatkan penggunaan senjata api.
Ottoman mengadopsi taktik Hungaria dengan menggunakan benteng berjalan. Namun, tampaknya disposisi pasukan di medan perang dengan janissari di tengah dan kavaleri di sayapnya tetap tidak berubah.
Perbedaannya adalah pusat dari tengah medan pertempuran yang diduduki janissari menjadi sebuah posisi yang dibentengi dengan kuat. Dimungkinkan juga, setelah peperangan Hungaria ini, janissari mulai membawa senjata api.
Ini terbukti efektif dalam peperangan melawan Uzun Hasan di awal tahun 1470-an. Kekurangan senjata api, Uzun Hasan mencoba, tetapi gagal memperoleh suplai senjata api dari Venisia.