Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shela Rahmadhani, S. Pt.

Perundingan Damai Israel-Palestina. Win-win Solution atau Menang Banyak??

Politik | Wednesday, 16 Jun 2021, 15:06 WIB
Menyusul pengumuman gencatan senjata di Gaza pasca perang 11 hari Palestina-Israel (10-21/05/2021), suara perundingan damai digemakan untuk mengakhiri konflik. Konflik Palestina-Israel bagaikan konflik yang tiada akhir mengingat konflik ini didasari oleh penjajahan yang membuat bangsa Palestina akan tetap melawan mempertahankan hak mereka.

Presiden Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volkan Bozkir di New York, menggelar pertemuan tertutup antar menteri luar negeri untuk membahas situasi Palestina pada Kamis 20 Mei 2021. Mewakili Indonesia dalam pertemuan itu, Menlu Retno menyampaikan tiga seruan di hadapan Majelis Umum PBB yaitu penghentian kekerasan dan dilakukan gencatan senjata, memastikan akses kemanusiaan dan perlindungan rakyat sipil, serta mendorong dimulainya kembali proses negosiasi multilateral yang kredibel (viva.co.id, 21/05/2021). Para Menlu negara lain turut menyepakati gagasan upaya adanya tekanan internasional yang diberikan kepada Palestina dan Israel untuk menangani isu utama yaitu kependudukan. Para Menteri Luar Negeri menyarankan pentingnya Palestina dan Israel kembali ke meja perundingan untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.

Sehingga dari pertemuan itu tampak jelas bahwa solusi yang ditawarkan adalah solusi dua negara, mengakui kedaulatan Israel dan juga Palestina secara bersama-sama yang disebut sebagai istilah hidup damai berdampingan.Berkaitan pengakuan terhadap kedaulatan Palestina atas Israel, tentu harus memiliki dasar untuk ditolak atau diterima. Menilik sejarah berdirinya Israel di Palestina yang menjadi akar konflik tentu harus dilihat kembali.

Palestina adalah negara yang berada dalam naungan Khilafah ustmani hingga tahun 1917. Setelah itu, Palestina dianeksasi oleh inggris dan selanjutnya berdasarkan mandat dari Balfour akhirnya menguatlah ide untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Dalam surat Balfour kepada Roschild dituliskan

"Dengan rasa senang saya menyampaikan pada Anda, atas nama Pemerintah Kerajaan Inggris, deklarasi yang didasarkan pada simpati untuk aspirasi Zionis Yahudi ini telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet Perang".

"Pemerintah Kerajaan Inggris memandang positif pendirian tanah air nasional untuk orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, sebab dipahami bahwa tidak ada yang dapat menghakimi hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak dan status politik yang dimiliki oleh Yahudi di negara lainnya".

"Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia".

"Salam,Arthur James Balfour"

Surat ini juga dikenal dengan deklarasi Balfour sebuah kesepakatan yang menjadi bibit kelahiran negara Israel dan memulai pergolakan politik di Timur Tengah yang tak bisa dipadamkan hingga hari ini, sebagaimana Jonathan Schneer berpendapat dalam bukunya The Balfour Declaration: The Origins of the Arab-Israeli Conflict.

Penyusunan draf Deklarasi Balfour dilakukan oleh para petinggi komunitas Yahudi Eropa dengan pemerintah Kerajaan Inggris, terutama dengan kementerian luar negeri. Negosiasi tingkat elite pertama antara Inggris dan kelompok Zionis pada 7 Februari 1917 dalam sebuah konferensi yang juga dihadiri oleh Balfour dan petinggi komunitas Yahudi.

Kabinet Perang Inggris memiliki kepentingan terhadap deklarasi itu untuk mulai menyusun strategi politik di wilayah Palestina-- dalam kerangka yang menguntungkan kepentingan Inggris Raya. Antara komunitas Yahudi dan Pemerintahan Inggris menjalin simbiosis mutualisme dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan.

Sejak saat itu kemudian Yahudi mulai bermigrasi ke Palestina. Konflik muncul dan menyeret nyawa banyak warga Palestina yang tak tahu apa-apa—selain bahwa tiba-tiba ia diusir dari tempat tinggalnya yang sudah dihuni secara turun-temurun, dan akan mendapat konsekuensi mengerikan jika menolaknya.

Dalam deklarasi Balfour tertuliskan bahwa orang-orang Yahudi meminta agar hak-hak politik mereka dipenuhi oleh orang Palestina. Namun, justru Yahudi merampas hak politik dan agama orang Palestina bahkan sampai ke titik paling kejam merampas hak untuk hidup. Harapan hidup berdampingan telah tersirat sejak deklarasi Balfour. Namun, slogan perdamaian justru penjajahan dan penjarahan di tanah sendiri.

Pada tahun 1939, Inggris menyerahkan Yahudi ke PBB. Dan pada tahun 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaan di bawah PBB. Sehingga dapat dinyatakan Mandat Inggris atas Palestina (Deklarasi Balfour) itu memuncak dengan menjelmanya Orang-orang Yahudi di Palestina menjadi kekuatan negara yang memiliki militer sehingga sanggup mengusir dan membunuhi lebih banyak orang-orang lokal. Sepanjang puluhan tahun setelahnya mereka terus mencaplok lahan bangsa Palestina, menciptakan gelombang pengusiran masal, pembunuhan, dan tindak pelanggaran hak asasi lainnya yang semakin mengerikan.

Pertikaian Israel Palestina dipercayai bersifat abadi dan Deklarasi Balfour juga mengubah wajah Timur Tengah selamanya. Demikianlah akar sejarah pendudukan Palestina secara politik oleh Israel. Setelah deklrasi menjadi negara, perampasan wilayah terus dilakukan.

Pada tahun 1967, wilayah Palestina pasca perang enam hari antara Israel dan tiga negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah) semakin menyusut hingga menyisakan jalur Gaza dan Tepi Barat. Dan dalam perang 1967, Israel merebut bagian timur Yerusalem dan kemudian mencaploknya meskipun tindakan itu belum mendapat pengakuan internasional. Demikianlah posisi Palestina hari semakin terus tersudut dan wilayahnya semakin tergerus.

Dan hari ini, dunia ingin memberikan penekanan agar Israel Palestina mengambil solusi win-win. Sejak awal keberadaan Israel adalah perampasan dan penjajahan. Win-win solution yang sebenarnya bukanlah sama-sama menang dengan diberikannya kedaulatan kepada masing-masing pihak, melainkan Israel akan semakin menyudutkan posisi Palestina atau Israel "menang banyak."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image