REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Negara-negara Arab Teluk mengatakan berbahaya bila dialog antara negara-negara besar dengan Iran mengenai kesepakatan nuklir 2015 tidak menyinggung program misil dan perilaku Teheran yang memicu 'destabilisasi'. Negara Arab Teluk menegaskan dua hal itu juga harus dibahas dalam dialog nuklir.
Pada Sabtu (19/6) mendatang, dialog antara negara-negara besar dan Iran agar Teheran dan Washington kembali bergabung ke kesepakatan nuklir 2015 memasuki putaran ke enam. Arab Saudi dan sekutu-sekutu memprotes perundingan yang digelar di Vienna itu tidak membahas kekhawatiran mereka.
Teheran menolak setiap upaya untuk menambahkan isu lain dalam kesepakatan untuk menahan program nuklir Iran dengan imbalan dicabutnya sanksi-sanksi internasional terhadap negara itu. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ingin kembali bergabung kesepakatan yang disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tersebut.
Pada tahun 2018 lalu, mantan Presiden AS Donald Trump menarik Negeri Paman Sam dari kesepakatan tersebut. Menteri-menteri luar negeri Negara Arab Teluk mendesak negara-negara besar dunia yang sedang berdialog dengan Iran memastikan larangan pada JCPOA lebih ketat dan berjangka panjang.
"Dihubungkan dengan langkah praktis demi membangun kepercayaan, untuk mencegah perlombaan senjata dan konflik lebih jauh di kawasan" kata para menteri luar negeri itu dalam pernyataan mereka yang dirilis usai rapat di Riyadh, Kamis (17/6).
Para menteri luar negeri menambahkan negara-negara Arab Teluk harus dilibatkan dalam negosiasi dengan Teheran. "(Kami siap) bekerja sama dan menangani dengan serius dan efektif urusan nuklir Iran, berdasarkan sikap menghormati kedaulatan dan hubungan bertetangga yang baik," tambah mereka.
Pernyataan itu menekankan bahaya memisahkan kesepakatan nuklir dengan program misil Iran dan dukungan mereka pada proksi-proksi di kawasan. Para menteri luar negeri negara Arab Teluk itu mendesak Iran terlibat dengan serius dalam perundingan tersebut dan menghindari eskalasi.
Hubungan Arab Saudi dan Iran memburuk sejak tahun 2016 lalu. Pada bulan April lalu kedua negara mulai menggelar pembicaraan langsung untuk meredakan ketegangan.
Persaingan mereka terasa di seluruh kawasan mulai seperti di Yaman. Di mana pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi berperang melawan gerakan Houthi yang didukung Iran selama lebih dari enam tahun.