REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) merekomendasikan pelarangan penjualan rokok batangan. Selain itu, kenaikan harga rokok untuk segera dilakukan agar dapat mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.
"Penduduk DKI Jakarta, termasuk anak usia sekolah, masih sangat mudah dalam mengakses rokok batangan karena masih padatnya warung rokok eceran, bahkan di dekat area sekolah. Harga rokok batangan yang murah juga membuat rokok semakin terjangkau," kata Ketua PKJS-UI Aryana Satrya dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (17/6).
Aryana mengatakan kebijakan berupa pelarangan penjualan rokok batangan melalui revisi regulasi Peraturan Pemerintah (PP) 109 Nomor 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, serta menaikkan harga rokok dibutuhkan untuk menekan tingkat keterjangkauan rokok, terutama pada anak-anak.
Menurut dia, pengendalian konsumsi rokok melalui pelarangan penjualan rokok batangan juga memerlukan koordinasi bersama, terutama kerja sama lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah.
"Dalam mengendalikan prevalensi perokok, terutama prevalensi perokok usia 10 sampai dengan 18 tahun di Indonesia, dibutuhkan gerakan bersama. Adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan regulasi di pemerintahan," ujar Aryana.
Rekomendasi yang diberikan PKJS UI tersebut berdasarkan hasil penelitian mengenai 'Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian'.
Ketua Peneliti PKJS UI, Risky Kusuma Hartono mengatakan, selain memberikan dua rekomendasi, pihaknya meminta Kementerian Dalam Negeri bersama pemerintah daerah (pemda) mendorong menerapkan aturan restriksi penjualan rokok eceran, khususnya lokasi yang dekat dengan area sekolah.
Sementara Kementerian Perdagangan diharapkan mengembangkan regulasi untuk memperketat penjualan rokok secara per bungkus dan pelarangan penjualan rokok secara batangan. Dan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mendorong pihak sekolah untuk melakukan pengawasan kepada siswa agar tidak merokok dan mengintensifkan promosi kesehatan mengenai bahaya merokok.
Risky mengatakan, efektivitas kenaikan harga minimum rokok pada kebijakan cukai tidak optimal jika penjualan rokok batangan masih diperbolehkan. Pasalnya, harga rokok batangan masih sangat terjangkau. Sehingga pemerintah perlu menaikkan harga rokok melalui kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT).
Selain itu, perlu menaikkan harga jual eceran dan simplifikasi strata tarif CHT untuk menekan keterjangkauan pembelian rokok terutama kepada anak usia sekolah. Hingga saat ini, menurut Risky, belum ada regulasi khusus yang mengatur pembatasan penjualan rokok secara eceran per batang di Indonesia.
Sehingga, hal itu berakibat pada terhambatnya efektivitas pengendalian konsumsi rokok. Harga rokok juga termasuk dalam kategori murah, yaitu Rp 1.000 sampai Rp 4.000 per batang.