REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mendesak para pemilih untuk hadir dalam pemilihan presiden pada, Jumat (18/6). Kehadiran pemilih sebagai unjuk kekuatan untuk mengurangi tekanan asing terhadap Republik Islam tersebut
.
Dua tokoh garis keras dan satu tokoh moderat mengundurkan diri dari kelompok tujuh kandidat resmi pada Rabu. Dengan demikian persaingan menyisakan kepala peradilan dan mantan kepala bank sentral yang moderat, Abdolnasser Hemmati.
Kepala kehakiman Ebrahim Raisi, 60, sekutu Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, secara luas dianggap sebagai favorit untuk menggantikan Hassan Rouhani, seorang pragmatis yang mengundurkan diri setelah dua periode.
"Dalam waktu kurang dari 48 jam, sebuah peristiwa penting akan terjadi di negara ini... Dengan kehadiran dan suara Anda, Anda benar-benar menentukan nasib negara, dalam semua masalah besar," kata Khamenei dalam pidato yang disiarkan televisi.
Di bawah sistem pemerintahan Iran, pemimpin tertinggi memiliki keputusan akhir atas urusan negara. Sementara presiden terpilih memerintah negara dari hari ke hari.
Bulan lalu, Dewan wali garis keras mendiskualifikasi beberapa kandidat moderat dan konservatif terkemuka, sehingga para kandidat didominasi oleh tokoh garis keras. Abdolnasser Hemmati, yang mundur sebagai kepala bank sentral untuk mencalonkan diri, akan bersaing dengan Raisi.
Pada Rabu bahwa mantan perunding nuklir Saeed Jalili dan anggota parlemen garis keras Alireza Zakani telah mengundurkan diri akan membantu mengkonsolidasikan suara kelompok garis keras di belakang Raisi.
Mohsen Mehralizadeh, seorang tokoh moderat juga mengundurkan diri untuk memberikan dorongan bagi Hemmati. Dua kandidat konservatif lainnya tetap mengikuti pemilihan umum, sekalipun mereka bisa mengundurkan diri atau mendukung Raisi sebelum pemungutan suara pada Jumat.
Boikot pemilu
Pandemi Covid-19 memicu kekhawatiran rendahnya suara pemilih. Beberapa politisi pro-reformasi terkemuka di Iran dan pegiat di luar negeri telah menyerukan boikot pemilu. Tagar #NoToIslamicRepublic telah banyak dicicitkan oleh rakyat Iran di dalam dan di luar negeri dalam beberapa minggu terakhir.
Jajak pendapat resmi menunjukkan jumlah pemilih bisa serendah 41 persen, jauh lebih rendah daripada pemilihan sebelumnya. Pemilihan itu dilakukan saat Iran sedang melakukan negosiasi di Wina dengan kekuatan dunia untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015.
Presiden AS Joe Biden berharap untuk menghidupkan kembali perjanjian itu, yang ditinggalkan oleh pendahulunya Donald Trump. Meskipun kesepakatan itu merupakan pencapaian bersejarah dari presiden Rouhani yang akan menyelesaikan masa jabatannya.
Pemilihan presiden itu diperkirakan tidak akan berdampak besar pada posisi negosiasi Iran, yang ditetapkan oleh Khamenei. Tetapi mandat yang kuat untuk Raisi dapat memperkuat tangan Khamenei di dalam negeri, dan mempengaruhi pencarian penerus pemimpin tertinggi berusia 82 tahun itu, yang telah berkuasa selama 32 tahun.
"Jika presiden baru dipilih dengan mayoritas suara yang signifikan, dia akan menjadi presiden yang kuat dan dapat melaksanakan tugas-tugas besar," kata Khamenei. "Jika kita mengalami penurunan jumlah pemilih, kita akan mendapat peningkatan tekanan dari musuh kita."