REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemilihan presiden Iran telah dimulai pada Jumat (18/6). Salah satu dari empat kandidat, yaitu Ebrahim Raisi (60 tahun) dari kelompok garis keras diprediksi berpeluang besar untuk menggantikan posisi Presiden Hassan Rouhani.
Menurut konstitusi, Rouhani dilarang mencalonkan diri karena telah menjabat sebagai presiden selama tiga periode atau 12 tahun. Kemenangan Raisi berpotensi mematikan kultur politik pragmatis seperti yang dilakukan Rouhani.
Dia menghadapi banyak pekerjaan utama, seperti upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan kekuatan Barat serta mengatasi tingginya kemiskinan akibat sanksi Amerika Serikat (AS). Para pejabat Iran serta ulama Syiah sadar nasib politik mereka bergantung pada penanganan ekonomi yang terus memburuk.
“Tantangan utama Raisi adalah ekonomi. Ledakan protes tidak akan terhindarkan jika dia gagal menyembuhkan penderitaan ekonomi bangsa,” kata seorang pejabat pemerintah, dilansir South China Morning Post.
Raisi mendapatkan dukungan penting dari Garda Revolusi Iran, yang menentang inisiatif reformis, mengawasi penindasan protes, dan menggunakan kekuatan proksi untuk menegaskan pengaruh Iran di regional. Raisi mendukung pembicaraan Iran dengan enam kekuatan Barat untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir.
"Hanya pemerintahan yang kuat yang dapat menerapkan kebangkitan pakta (nuklir) tersebut," ujar Raisi.
Para kritikus menuding Raisi telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama beberapa dekade. Raisi ditunjuk sebagai kepala kehakiman pada 2019 oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Beberapa bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi tahanan politik pada 1980-an dan penindasan kerusuhan pada 2009.