Senin 21 Jun 2021 19:11 WIB

Separatisme Tertolak Hukum Internasional, Papua NKRI Final

Hukum internasional menegaskan Papua bagian dari NKRI.

Hukum internasional menegaskan Papua bagian dari NKRI. Peta Papua. Ilustrasi
Foto: Google Map
Hukum internasional menegaskan Papua bagian dari NKRI. Peta Papua. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isu separatisme yang sekarang muncul di Papua disebut banyak kepentingan dan pelintirannya. Tak hanya di Papua, isu sama juga sudah banyak muatan kepentingannya di sejumlah negara. 

Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Dr Damos Dumoli Agusman, saat webinar dengan tema "Separitism and Terroism in Papua" yang digelar Perhimpunan Eropa untuk Indonesia, akhir pekan lalu, dalam keterangannya, Senin (21/6).     

Baca Juga

"Isu separatisme di Papua kadang banyak pelintirannya. Separatisme selalu bertetangga dengan konflik. Harus diciptakan agar mimpi kemerdekaan itu tetap on atau terus ada," kata Damos.  

Separatisme yang menimbulkan konflik ini, menurut dia, berdimensi hak asasi manusia (HAM) yang ujung-ujungnya lari ke hak untuk merdeka.  

"Konflik ini berdimensi HAM, dan ujung-ujungnya lari hak untuk merdeka. Biasanya isu HAM ini dicampur aduk. Ini yang kami cermati di publik," kata dia.  

Sayangya, kata dia, pendekatan isu ini juga menggunakan antropologi, politik, sejarah, dan lainnya, sementara perspektif internasional justru tidak digunakan. Padahal, jika ditilik dari hukum internasional, persoalan tersebut sudah tuntas. “Berbicara separatisme, berbicara internasional," kata dia.

Para pendukung Papua merdeka, kata dia, selalu berdalih bahwa Papua bukan bagian Republik Indonesia saat proklamasi. Benarkah Papua saat Indonesia memerdekakan diri berada di NKRI?  

"Pada 1885 kolonial sudah masuk. Di mana ada pengakuan Inggris dan Jerman dalam perjanjian perbatasan East New Guinea di Papua ada perjanjian Inggris Belanda 1895. Paling penting adalah dokumen pamungkas konsitusi Belanda pada saat Indonesia merdeka. Pada 1938 Papua bagian dari Netherlands East Indies," tuturnya.  

Dia mengatakan, Papua di pembahasan wilayah BPUPKI pada 10-14 Juli 1945 ini menghasilkan tiga opsi. Pertama, Hindia Belanda dengan 19 suara. Hindia Belanda plus Malaya, minus Papua enam suara. Dan, Hindia Belanda Malaya Brunei, Portugis. 

"Pada 12 Agustus 1945, Presiden Soekarno dan Hatta berangkat ke dalat Saigon, Vietnam, bertemu dengan Jenderal Terauchi. 

Hasilnya, Jendral Terauchi hanya menerima wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah RI tidak lagi dibahas dalam UUD.  

Sementara itu, mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka John Al Norotouw mengatakan bahwa konflik di tanah Papua harus diatasi karena Tanah Papua bagian dari NKRI. Papua sudah diakui dan dinyatakan PBB masuk dalam pangkuan Indonesia.  

"Saya ingin menyatakan kepada seluruh Indonesia di lapisan mana pun sampai Bapak Presiden. Indonesia disatukan dengan kebinekaan dari perbedaan. Papua sangat berbeda, tetapi di antara itu banyak dari berbagai suku mendiami Papua," ujar dia. 

Dia menyebut orang Papualah yang sangat mencintai Indonesia dan setia menjadi warga Indonesia. Dia menegaskan, Papua bagian dari Indonesia sudah final karena diakui PBB. 

Bahkan, kata dia, pihak-pihak yang mau memerdekakan Papua tidak mampu mencabut resolusi atau keputusan PBB ini. "Tidak punya dan tidak mampu mencabut resolusi itu karena dipilih dari suara (negara berdaulat) di PBB," kata dia.    

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement