REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menerbitkan 10 Peraturan LKPP (PerLKPP) baru sebagai pedoman teknis pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Salah satu aturan dibuat untuk mempermudah dan memperluas kesempatan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) untuk mengikuti pengadaan barang dan jasa.
Peraturan tersebut adalah PerLKPP Nomor 12 Tahun 2021 (PerLKPP Nomor 12/2021) tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia. Aturan hasil kolaborasi LKPP dan Kementerian PUPR ini memuat pedoman pelaksanaan pengadaan dan model dokumen pemilihan penyedia. Aturan ini sekaligus menggantikan Permen PUPR No 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia.
Kepala LKPP Roni Dwi Susanto mengatakan, salah satu tujuan dibuatnya PerLKPP tersebut untuk menegaskan komitmen pemerintah dalam memberikan perluasan kesempatan bagi pelaku UMK. Caranya dengan menaikkan batasan nilai paket pengadaan hingga Rp 15 miliar.
“PerLKPP Nomor 12/2021 juga mempermudah persyaratan bagi pelaku usaha kecil yang baru berdiri kurang dari tiga tahun untuk turut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah,” kata Roni dalam konferensi pers, Senin (21/6).
Ia menambahkan, PerLKPP ini juga memberikan relaksasi berjenjang dalam pemberian uang muka, yakni paling rendah 50 persen untuk nilai kontrak Rp 50 juta hingga Rp200 juta dan paling rendah 30 persen untuk nilai kontrak Rp 200 juta hingga Rp 2,5 miliar.
Roni berharap seluruh aturan turunan yang telah diundangkan dapat memberikan panduan yang jelas kepada pengelola pengadaan dalam mengeksekusi belanja pengadaan yang didanai oleh APBN/APBD. Sebagaimana diketahui, belanja pemerintah saat ini menjadi salah satu kunci bagi pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Roni menyebut, sisa anggaran yang belum terpakai harus segera dibelanjakan agar tidak terjadi penumpukan di akhir tahun. "Saya harap sudah tidak ada lagi keraguan dalam membelanjakan anggaran, karena ini juga harus cepat agar ekonomi bertumbuh dengan tetap menjalankan kewajiban penggunaan PDN dan peningkatan peran UMK dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah,” kata Roni.
Roni mengatakan, pengadaan terkait konstruksi sebisa mungkin melibatkan pelaku usaha kecil sebagai pemasok atau subkontraktor. Kemudian, instansi yang belanja langsung seperti kebutuhan penunjang sehari-hari bisa beli di UMK dan koperasi setempat atau melalui Bela Pengadaan.
Ia memaparkan, dari total belanja pengadaan pemerintah sebesar Rp 1.204 triliun pada 2021, potensi belanja yang diperuntukan pelaku usaha mencapai Rp 531,7 triliun. Angka ini meliputi 29,9 persen untuk belanja barang, 52,8 persen untuk pekerjaan konstruksi, 4,5 persen untuk jasa konsultansi, dan 12,7 persen untuk jasa lainnya.
Khusus untuk pekerjaan konstruksi, potensinya adalah sebanyak 217.371 paket dengan total pagu sebesar Rp 280,9 triliun yang terdistribusi sebanyak 149.543 paket untuk pagu senilai hingga Rp 200 juta. Kemudian, 65.164 paket untuk nilai pagu mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 15 miliar. Selanjutnya ada 2.069 paket untuk pagu Rp 15 miliar hingga Rp 50 miliar, 318 paket untuk pagu Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar dan 277 paket untuk pagu di atas Rp 100 miliar.
“Dari batasan nilai ini terlihat bahwa total ada 214.707 paket pekerjaan konstruksi dengan nilai Rp 121,9 triliun yang bisa didapatkan pelaku usaha kecil. Bahkan kami juga mendorong pekerjaan konstruksi yang nilainya lebih dari Rp 15 miliar atau skala pekerjaannya tidak bisa dikerjakan oleh usaha kecil untuk tetap menggandeng mereka sebagai sub kontraktor atau supplier,” katanya.
Roni mengatakan, aturan-aturan yang dibuat LKPP merupakan tindak lanjut amanat Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategi Nasional.