REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Baru-baru ini publik dikagetkan dengan adanya isu pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako. Apabila rencana itu disahkan, bahan-bahan pokok seperti halnya beras, telur, daging, sayur-sayuran, dan semacamnya akan dikenai pajak dalam pembeliannya.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Wasiaturrahma menilai pemerintah perlu menelaah secara matang sebelum memutuskan kebijakan tersebut. Wasiaturrahma menyatakan, pengenaan PPN pada sembako sangat berhubungan dan bisa berdampak pada perut rakyat kecil.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari prinsip beberapa negara maju yang menerangkan bahwa makanan, kesehatan, dan pendidikan, tidak boleh dikenakan PPN. Itu karena menyangkut kebutuhan primer dalam kehidupan
"Itu negara maju. Kita negara berkembang, yang income per-kapitanya sudah sangat merosot akibat pandemi. Sekarang ini, semua mengalami penurunan daya beli oleh masyarakat. Jadi, kebijakan itu harus dipertimbangkan dengan baik," ujarnya di Surabaya, Senin (21/6).
Rahma memandang pengenaan PPN pada sembako akan menyulitkan masyarakat bawah, baik yang berpenghasilan tidak tetap ataupun berpenghasilan tetap tapi rendah. Menurutnya, daya beli masyarakat saat ini sudah rendah, apabila PPN pada sembako diterapkan, maka daya beli masyarakat bawah akan semakin anjlok.
"Silakan berlakukan kebijakan ini bagi kalangan atas, tapi tidak untuk kalangan masyarakat bawah karena bisa semakin memperlebar disparitas kemiskinan di Indonesia. Kita perlu merujuk kembali pada UUD 1945 pasal 33 yang menerangkan bahwa semua kebijakan itu tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Dosen kelahiran Sumenep itu menyebut, ada barang-barang lain yang seharusnya lebih pas dikenakan PPN dibandingkan sembako. Ia mencontohkan barang mewah seperti barang-barang impor yang menurutnya lebih wajib dikenakan PPN cukup tinggi. Hal itu selaras juga untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.