REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN per Mei 2021 sebesar Rp 219,3 triliun atau meningkat dibandingkan bulan sebelumnya Rp 138 triliun. Adapun defisit APBN melebar karena belanja pemerintah pusat yang melonjak di tengah belum optimalnya penerimaan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan realisasi defisit ini setara 1,32 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika dirinci belanja negara mencapai Rp 945,7 triliun atau naik 12,05 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yakni Rp 843,94 triliun.
“Kenaikan terutama terjadi pada belanja pemerintah pusat yang melonjak 20,53 persen menjadi Rp 647,6 triliun, sedangkan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) minus 2,8 persen menjadi Rp 298 triliun,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Selasa (22/6).
Menurutnya kenaikan belanja pemerintah pusat terutama didorong oleh belanja barang untuk mendukung pemulihan dari pandemi, antara lain biaya perawatan pasien Covid-19, bantuan operasional sekolah, serta percepatan belanja modal padat karya seperti pembangunan jalan, irigasi, dan jaringan.
Di antara belanja pemerintah pusat, belanja kementerian/lembaga naik paling tinggi 32,97 persen menjadi Rp 359,8 triliun, sedangkan belanja non k/l tumbuh 7,9 persen menjadi Rp 287 triliun. Sedangkan pada belanja TKDD, transfer ke daerah turun 0,73 persen menjadi Rp 275,7 triliun, sedangkan dana desa turun 22,64 persen menjadi Rp 22,3 triliun.
Bendahara negara menilai realisasi belanja pemerintah pusat yang tinggi disebabkan semakin besarnya serapan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Per 18 Juni 2021, program tersebut telah menyerap anggaran sebesar Rp 226,63 triliun atau 32,4 persen dari pagi Rp 699,43 triliun.
Adapun realisasi tersebut terdiri dari bidang kesehatan Rp 39,55 triliun atau 22,9 persen dari alokasi Rp 172,84 triliun, perlindungan sosial Rp 64,91 triliun atau 43,8 persen dari pagu Rp 148,27 triliun, serta dukungan UMKM dan korporasi Rp 48,05 triliun atau 24,8 persen dari alokasi Rp 193,74 triliun. Kemudian, program prioritas terserap Rp 38,1 triliun atau 29,8 persen dari alokasi Rp 127,85 triliun dan insentif usaha Rp 36,02 triliun atau 63,5 persen dari anggaran yang disediakan Rp 56,73 triliun.
Di tengah belanja pemerintah pusat yang melonjak, penerimaan negara belum tumbuh maksimal. Adapun pendapatan negara dan hibah naik 9,31 persen dari Rp 664,6 triliun menjadi Rp 726,4 triliun.
Pemasukan negara berasal dari penerimaan dalam negeri meningkat 9,54 persen menjadi Rp 726,5 triliun dan hibah yang minus Rp 100 miliar. Pendapatan dalam negeri mencakup penerimaan perpajakan tumbuh 6,2 persen menjadi Rp 568,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak tumbuh 22,36 persen menjadi Rp 167,6 triliun.
Kemudian keseimbangan primer minus sebesar Rp 67,1 triliun atau negatif 0,43 persen terhadap PDB. Adapun angka ini lebih lebar dari tahun lalu yang hanya minus 0,22 persen terhadap PDB.
Adapun realisasi pembiayaan telah mencapai Rp 309,3 triliun atau turun 13,57 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 357,9 triliun. Sedangkan sisa lebih pembiayaan anggaran Rp 90 triliun atau lebih sedikit dari Mei 2020 sebesar Rp 178,5 triliun.