Selasa 22 Jun 2021 11:45 WIB

PBB: 8.500 Anak Dijadikan Tentara di Wilayah Konflik

Sekitar 8.500 anak-anak digunakan sebagai tentara tahun lalu dalam berbagai konflik

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
 Anak-anak dari kamp pengungsi sementara, tinggal di tempat penampungan sementara di distrik Maiwand dan Panjwayi, di Kandahar, Afghanistan, 10 November 2020.
Foto: EPA-EFE/MUHAMMAD SADIQ
Anak-anak dari kamp pengungsi sementara, tinggal di tempat penampungan sementara di distrik Maiwand dan Panjwayi, di Kandahar, Afghanistan, 10 November 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan lebih dari 8.500 anak-anak digunakan sebagai tentara pada tahun lalu dalam berbagai konflik di seluruh dunia. Sementara hampir 2.700 lainnya meninggal dunia dalam medan perang.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyampaikan laporan tahunan tentang anak-anak dan konflik bersenjata kepada Dewan Keamanan. Laporan tersebut termasuk pembunuhan, melukai dan pelecehan seksual terhadap anak-anak, penculikan atau perekrutan, penolakan akses bantuan, dan penargetan sekolah dan rumah sakit.

Baca Juga

Laporan tersebut memverifikasi bahwa pelanggaran telah dilakukan terhadap 19.379 anak dalam 21 konflik. Pelanggaran terbanyak dilakukan di Somalia, Republik Demokratik Kongo, Afghanistan, Suriah, dan Yaman pada 2020.

Laporan itu memverifikasi 8.521 anak-anak digunakan sebagai tentara tahun lalu. Sementara 2.674 anak lainnya meninggal dunia dan 5.748 terluka dalam berbagai konflik.

Laporan tersebut juga memasukkan daftar hitam negara-negara yang menggunakan anak-anak sebagai tentara di medan perang. Daftar hitam itu bertujuan untuk mempermalukan pihak-pihak yang berkonflik dengan harapan mendorong mereka untuk menerapkan langkah-langkah dalam melindungi anak-anak.

Daftar hitam tersebut telah lama menjadi kontroversi di antara para diplomat. Mereka mengatakan Arab Saudi dan Israel  memberikan tekanan dalam beberapa tahun terakhir agar mereka tidak masuk ke dalam daftar hitam.

Israel tidak pernah masuk ke dalam daftar hitam itu. Sementara koalisi militer yang dipimpin Saudi telah dihapus dari daftar pada 2020, beberapa tahun setelah pertama kali disebutkan dan dipermalukan karena membunuh serta melukai anak-anak di Yaman.

Dalam upaya meredam kontroversi seputar laporan tersebut, daftar hitam yang dirilis pada 2017 oleh Guterres dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama berisi daftar pihak yang telah menerapkan langkah-langkah untuk melindungi anak-anak dan kategori kedua termasuk pihak-pihak yang belum menerapkan upaya perlindungan terhadap anak-anak.

Ada beberapa perubahan signifikan pada daftar yang dirilis pada Senin (21/6). Satu-satunya negara yang disebutkan dalam daftar karena tidak menerapkan tindakan adalah militer Myanmar, untuk pembunuhan, melukai dan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Pihak lainnya yaitu pasukan pemerintah Suriah untuk perekrutan anak-anak, pembunuhan, melukai dan kekerasan seksual terhadap anak-anak. dan serangan terhadap sekolah dan rumah sakit.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement