REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Revisi UU KPK yang meletakan KPK di bawah eksekutif, judicial review UU KPK yang menganggap aspirasi rakyat hanya hak berpendapat, sampai 75 anggota berkredibilitas tinggi dijegal tes wawasan kebangsaan dan diancam diberhentikan, menunjukkan satu kesimpulan. Yaitu, pelemahan KPK masih akan terus berlanjut.
Penyidik KPK Harun Al Rasyid mengatakan, revisi UU Nomor 19/2019 bukan bentuk penguatan KPK. Lalu, pelaksanaan TWK menjadi sebuah penyelundupan hukum karena ketentuan TWK tidak diatur dalam UU No 19/2019, terutama mengenai adanya tes.
Selain itu, peraturan KPK yang dibentuk secara harmonisasi KPK, Kemenpan RB dan Kemenkumham sama sekali tidak membahas TWK. Namun, satu hari sebelum norma PKPK diundangkan, Ketua KPK tanpa didampingi pimpinan KPK lain datang ke Kemenkumham.
"Besoknya, saat norma ini diundangkan ada ketentuan tentang TWK itu. Ini yang saya sebut penyelundupan hukum. Saat itu, kami langsung menolak karena TWK itu tidak diatur dalam UU No 19/2019 maupun peraturan lainnya," kata Harun dalam webinar yang digelar LKBH FH Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (22/6).
Walau pimpinan KPK mengatakan TWK hanya sebagai formalitas, anggota KPK menolak karena kata formalitas akan berdampak pembohongan publik. Mereka juga merasa ada yang akan diberhentikan, terbukti dengan 75 anggota yang dinyatakan tidak lulus.
Harun juga membantah, Ketua KPK yang berdalih tidak ada diskriminatif dalam TWK. Kenyataannya, pertanyaan dan waktu pengujian berbeda, dan Harun sendiri harus menjalankan TWK kurang lebih dua jam, sedangkan anggota lain ada yang 15 menit.
Dosen FH UII Anang Zubaidy menuturkan, UII mengajukan, judicial review UU Nomor 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tanggung jawab sejarah membersihkan Indonesia dari korupsi. Sekaligus, sebagai catur dharma pengabdian masyarakat.
UII mengajukan dua tahap pengujian yaitu pengujian formil dan materiil. Formil mencakup UU tidak dibentuk sesuai prosedur baik, melanggar asas partisipasi, melanggar asas keterbukaan, melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Sedangkan, materiil mencakup kedudukan independensi KPK, kewenangan Dewas KPK dalam memberi perizinan melakukan penyelidikan, alih status ASN, dan pemberian SP3 tidak terukur. Mengejutkannya, MK menetapkan pembentukan UU sesuai prosedur.
"MK juga menganggap demonstrasi yang terjadi dan aspirasi rakyat hanya bagian dari kebebasan berekspresi yang biasa terjadi. Ini tentu melukai hati generasi bangsa karena demonstrasi hanya dianggap sebagai bentuk menyatakan pendapat," ujar Anang.
Berikutnya, KPK disebut tetap independen meskipun di bawah eksekutif. Padahal, TWK misal, sudah cukup membuktikan kedudukan KPK ada di bawah rumpun eksekutif dan sangat mempengaruhi kinerja KPK. MK tidak menetapkan jelas kewenangan Dewas.
"SP3 dimungkinkan dalam waktu dua tahun sejak SPDP. Dengan ketentuan itu semakin banyak kasus korupsi tidak terselesaikan karena penyelesaian kasus korupsi pasti membutuhkan waktu lama, sedangkan jika melewati dua tahun harus dihentikan," kata Anang.
Mantan penasihat KPK, Budi Santoso mengingatkan, revisi UU KPK tidak pernah masuk masuk ke prolegnas. Padahal, seharusnya UU yang akan disahkan harus masuk ke daftar prolegnas, sedangkan pengesahan UU KPK kurang lebih hanya 14 hari.
DPR menggelar rapat paripurna yang hanya dihadiri 70 anggota dan menghasilkan pengesahan UU Nomor 19 Tahun 2019. Jelas proses pengesahan ini telah menyimpangi ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Pelemahan KPK ini sudah didesain dengan sedemikian rupa, mulai dari regulasinya terkait RUU KPK sampai akhir pengesahannya KPK tidak diberikan draft asli, serta tidak juga diberi kesempatan mengikuti rapat terkait pembahasan ini," ujar Budi.
Bahkan, KPK yang merupakan institusi pelaksana ketentuan undang-undang malah tidak dilibatkan. Dalam tahap pelaksanaannya, KPK juga kembali dilemahkan dengan pemberlakuan SP3, memudahkan pelaku korupsi untuk bebas dari tuntutan pidana.
SDM KPK juga dilemahkan dengan menjalankan TWK, dan menghasilkan 75 anggota KPK berintegritas dinyatakan tidak lulus TWK dan diancam diberhentikan. Melihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pada akhirnya semua akan menjadi kekuasaan eksekutif.
"Dan, kekuasaan eksekutif tertinggi ada di tangan presiden. Dengan demikian, lembaga yang berada di bawahnya akan lebih mudah dikooptasi dan dipengaruhi, serta sistem kebijakannya menjadi terpusat," kata Budi.