Selasa 22 Jun 2021 20:37 WIB

'Perpanjangan Jabatan Bukti Lemahnya Ketaatan Konstitusi'

Para dalang di balik wacana itu diduga biasa mengubah aturan demi kepentingan sendiri

Rep: Rizky Suryarandika/Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro
Foto: Republika/Mimi Kartika
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mengkritik pedas wacana perpanjangan masa atau periode jabatan Presiden. Menurutnya, wacana itu kerap muncul karena ketaatan terhadap konstitusi masih rendah. 

Zuhro tak heran atas kembali menggaungkan wacana perpanjangan jabatan Presiden. Para dalang di balik wacana itu diduga biasa mengubah aturan demi kepentingan sendiri.

"Usulan yang muncul di tengah jalan (perpanjangan jabatan) menunjukkan lemahnya kepastian hukum dan penegakan di Indonesia. Ketaatan terhadap Konstitusi dan UU tidak cukup kokoh sehingga cenderung ingin mengutak- ngatik peraturan yang untuk kepentingan dan orientasi kekuasaan belaka," kata Prof Zuhro kepada Republika, Selasa (22/6).

Zuhro menyebut, usulan perpanjangan jabatan Presiden bukan kali ini mengemuka. Ia mengamati usulan serupa pernah muncul di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Namun usulan itu justru mendapatkan resistensi. Demikian juga saat ini," ujar Zuhro.

Selain itu, Zuhro berharap, politisi di Indonesia dapat belajar dari negara maju dalam hal pelaksanaan sistem demokrasi. Sehingga, usulan atau gerakan di tengah jalan seperti wacana perpanjangan jabatan Presiden tak akan ditemui. 

Hal ini akan berpengaruh pada kematangan demokrasi Indonesia agar tak bernasib seperti negara di sekitarnya. "Di negara berkembang seperti Thailand, rezim silih berganti interupsi militer dalam politik. Demikian juga di Myanmar, rezim junta militer acapkali muncul mengkudeta pemerintahan sipil," kata Zuhro. 

Lebih lanjut, di mengingatkan, agar siapapun tak boleh menggolkan perpanjangan jabatan Presiden lewat Amandemen UUD 1945. Dia berharap, semua pihak menghargai UUD yang berlaku.

"Dua opsi (3 periode dan perpanjangan maksimal 3 tahun) tersebut tidak ada payung hukumnya. Capres dan cawapres dalam pilpres di atur Konstitusi dan UU Pemilu. Secara hukum sudah sangat jelas periode masa kepresidenan," tegas Zuhro. 

Di sisi lain, Politikus PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira menyampaikan, dugaan perihal pihak yang gencar menggelorakan wacana perpanjangan jabatan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, wacana itu berpeluang dilontarkan oleh lingkaran dekat Presiden Jokowi.

"Saya kira ini memang ada kepentingan, mungkin ada kelompok masyarakat, mereka-mereka yang ada di sekitar Presiden Jokowi atau mereka yang punya keuntungan dan kepentingan politik berkaitan dengan Jokowi," kata Andreas kepada Republika, Selasa (22/6). 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement