REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Muhammad SAW memiliki mata hati yang bening. Para sahabat yang hidup sezaman dan berjuang bersama-sama dengan beliau tahu benar bagaimana kebeningan hatinya (dzauq) dalam mengarungi hidup dan bergaul dengan sesama.
"Kebeningan hati inilah yang memungkinkannya berada pada tahap puncak kesempurnaan seorang manusia, laksana bintang yang berkilau terang dari ketinggian, memukau setiap manusia yang memandangnya," kata Muhammad Ismail Al-Jawisy dalam bukunya 'Muhammad SAW Sehari-hari'.
Kebeningan hati Nabi Ibarat sebuah halilintar yang menyambar ke dalam lubuk hati kemanusiaan, memberi petunjuk lewat perilaku dan akhlak beliau dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk satu zaman ke zaman yang lain, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sehingga kata M Ismail Al-Jawisy siapa saja yang pernah merasakan kebeningan hati beliau, baik secara langsung maupun tidak langsung, pasti akan mencontoh akhlak nya dan sekaligus menjadi contoh bagi sekelilingnya, menjadi panutan bagi setiap orang yang hadir dalam kehidupan. Ahlak Nabi menjadi sumber cahaya setiap rindu keindahan.
"Kebeningan hati Rasulullah ini telah menyilaukan setiap orang yang pernah belajar tentang arti hidup," katanya.
Sebingga setiap sikap dan perilakunya seolah mendorong manusia kepada sebuah rasa penasaran untuk bertanya dari manakah gerangan ia memperoleh semua keutamaan tersebut?
Setiap perilaku yang beliau lakukan dalam segala situasi dan kondisi, baik perbuatan atau ucapan. Kemulian Nabi menggugah akal pikiran manusia untuk mencari sumber dibalik segala keindahan akhlak tersebut kemaha yang mestilah lebih sempurna dan menawan hati; tidak ditinggalkannya dalam jiwa jiwa manusia terkecuali rasa kagum yang mendalam akan segala keagungan dan kebesaran jiwanya.
"Seolah-olah lidah setiap orang hendak berucap sungguh tidak ada di alam semesta ini yang lebih baik dan indah dari akhlak Baginda Nabi Besar Muhammad SAW."
Tentu rasa kagum dan takjub umat semakin bertambah-tambah ketika beliau melakukan secara lebih baik apa yang dianggap orang lain sudah baik, dan beliau menyempurnakan beberapa sikap dan tindakan yang sebelumnya sudah dianggap mulia. Sehingga sampai kepada taraf mukjizat dalam banyak kesempatan lain dalam hidupnya beliau melakukan harmonisasi di antara keduanya.
Akan tetapi apakah cara pergaulan dan akhlak berperilaku yang dilakukan Baginda Nabi murni merupakan buah pikirannya sendiri, notabene merupakan manusia biasa dengan berbagai kelemahannya, sehingga tak memungkinkannya untuk bertindak dan berperilaku secara sempurna dalam setiap waktu dan kesempatan? Tentu kata M. Ismail Al-Jawisy jawabannya tidak mungkin, melainkan mesti ada sebab lain yang lebih utama dan menjaga beliau dari segala kesalahan.
"Yakni suatu mukjizat yang membuat siapa saja yang melihatnya terkesima dan mau tak mau mengikuti (mengamini) kemuliaan dan keagungan akhlak beliau," katanya.
Tentu suatu mukjizat yang dapat menggugah setiap manusia yang berakal untuk bertanya. " Bagaimanakah kesempurnaan berakhlak tersebut bisa terjadi tanda tanya Dari manakah gerangan beliau memperoleh semua keutamaan akhlak tersebut?".
Namun kata M Ismail Al-Jawisy, rasa penasaran umat kala itu segera terjawab karena beliau pulalah yang memberikan jawaban yang menenangkan rasa penasaran tersebut, setelah ia melihat terdapat semacam keheranan menyelimuti para sahabat dan orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya itu, bahkan Baginda Nabi sendiri seolah sudah mengetahui dan memprediksi keadaan serupa akan melanda pula generasi generasi umat kedepannya, yaitu para muslimin dan muslimat yang menapaktilasi kisah perjalanan hidup beliau melalui bacaan dan riwayat.
Atas rumah kegiatan itu beliau menjawab. "Sesungguhnya Allah SWT adalah sebaik-baik pendidik akhlak," katanya.