REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, Maqdir Ismail, mengaku tak habis pikir dengan siasat yang digunakan mantan pejabat pembuatan komitmen (PPK) Kemensos Matheus Joko Santoso (MJS). Menurut Maqdir, terdakwa kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek di Kemensos itu terus melempar tanggung jawab kepada kliennya terkait perkara suap bansos yang menjerat Juliari serta Joko.
Joko telah mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerjasama kepada Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "MJS seharusnya dihukum dengan hukuman tinggi dan permohonannya dikesampingkan. Dengan cara seperti ini orang tidak akan dengan mudah dan gampang seolah-olah mencari perlindungan, seolah-olah adalah korban. Kalau tidak ada OTT, dia (MJS) sudah memegang uang cukup banyak hampir Rp14 miliar. Sedangkan yang lain tidak ada yang pegang uang," kata Maqdir, Selasa (22/6).
Maqdir menilai permohonan JC yang dilayangkan Joko hanya untuk mengundang perhatian dan melempar kesalahan. Sebab, Maqdir mengatakan, para saksi vendor bansos yang dihadirkan di persidangan mengaku telah dipalak Joko.
"Menurut hemat saya MJS tidak pantas untuk mendapat status sebagai JC, karena dia adalah kewenangan pelaku utama terjadinya perkara bansos. MJS tidak bisa disebut sebagai saksi mahkota," tegas Maqdir.
Maqdir mengungkapkan, di banyak negara umumnya saksi mahkota digunakan untuk membongkar perkara atau kejahatan terorganisir dan tidak mudah pembuktiannya. Maqdir menyebut, perkara dugaan suap bansos COVID-19 adalah perkara yang mudah dan buktinya cukup jelas.
Terlebih, Joko tertangkap tangan dengan bukti uang yang nyata serta hasil penyadapan. Sehingga, sambung Maqdir, aktor sebenarnya dari kasus dugaan suap Bansos di Kemensos adalah Joko. Bahkan, Joko juga yang tertangkap pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
Selain itu, lanjut Maqdir, berdasarkan BAP dan keterangan para saksi, terungkap pula adanya hubungan asmara antara Joko dan Daning Saraswati. Dugaan itu diperkuat dengan kesaksian terpidana Harry Van Sidabukke (HVS) yang mengaku pernah dikenalkan dengan Daning sebagai istri muda tanpa ikatan pernikahan Joko.
Dalam persidangan, juga sempat disebutkan bahwa Joko pernah memberikan modal sebesar Rp 3 miliar untuk pendirian PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) salah satu vendor dalam proyek bansos yang dimiliki oleh Daning.
Selain memperoleh modal usaha untuk mendirikan PT RPI, Daning juga dibelikan sebuah rumah di daerah Cakung Jakarta Timur, mobil Toyota Vios dan Toyota Cross, dan safe deposit box (SDB) BRI Rp senilai 1,8 miliar. "Saksi seperti MJS ini adalah saksi yang tidak bertanggung jawab. Dia adalah orang mau cari kekayaan dan hidup bersenang-senang, kemudian melemparkan tanggung jawab ke atasan. Makanya saya katakan ini adalah saksi durhaka," tegas Maqdir.
Sebelumnya, tim penasihat hukum Joko, Tangguh Setiawan Sirat, mengungkapkan, alasan kliennya mengajukan JC lantaran merasa dimanfaatkan oleh Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. "Artinya dari sini saja kita bisa lihat bahwa Pak Matheus Joko ini hanya dimanfaatkan oleh Pak Menteri (Juliari) untuk mengurusi kegiatan-kegiatan yang sifatnya meminta uang kepada vendor," kata Tangguh.
Perihal permohonan JC ini, tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) akan menanggapinya dalam sidang dengan agenda tuntutan.
Dalam perkara ini, dua mantan pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono didakwa turut bersama-sama dengan mantan mensos Juliari Peter Batubara menerima suap sebesar Rp 32 miliar. Keduanya diduga menjadi perantara suap terkait pengadaan bansos Covid-19.