REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--PT Pupuk Indonesia (Persero) mulai mempersiapkan pembangunan dua pabrik pupuk baru. Kedua pabrik tersebut akan dibangun di Palembang, Sumatera Selatan dan Bintuni, Papua Barat.
Direktur Utama Pupuk Indonesia, Achmad Bakir Pasaman, mengatakan, pembangunan pabrik di Palembang digunakan untuk operasional anak usaha PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (Pusri) dengan nilai investasi 670 juta dolar AS. Sumber pndanaan berasal dari pendanaan internal serta pinjaman bank.
Ia mengatakan, pembangunan pabrik baru tersebut sekaligus menjadi upaya revitalisasi perseroan untuk meningkatkan efisiensi produksi namun bisa menghasilkan produksi pupuk yang lebih besar.
"Proyek ini adalah Pabrik Pusri III B dengan kapasitas pupuk urea 907 ribu tpy dan amonia sebesar 445 ribu tpy," kata Bakir dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR, Kamis (24/6).
Bakir mengatakan, kapasitas tersebut lebih besar dari realisasi kapasitas produksi gabungan pabrik Pusri II dan Pusri IV. Di mana, pada tahun lalu, realisasi kapasitas untuk pupuk urea sebesar 609,4 ribu tpy dan amonia hanya 225,8 ribu tpy atau di bawah dari kapasitas Pusri IIIB.
Adapun dari segi penggunaan energi, Bakir mengatakan pabrik baru akan jauh lebih efisien. Ia memaparkan, rasio energi untuk memproduksi pupuk urea hanya 23,07 MMBTU/ton sedangkan amonia 31,49 MMBTU/ton. Kedua rasio energi tersebut jauh lebih rendah dari rasio energi di gabungan pabrik Pusri III dan Pusri IV. "Kami harapkan proyek ini sudah bisa beroperasi secara komersial pada kuartal keempat tahun 2025," kata Bakir.
Hanya saja, ia mengakui terdapat kendala yang dihadapi yakni mengenai suplai gas dalam jangka panjang. Namun, soal harga, Bakir memastikan telah mendapatkan keputusan dari pemerintah bahwa Pusri akan mendapat gas dengan harga 6 dolar AS per MMBTU.
Kendala lain yang ditemukan yakni soal pendangkalan sungai Musi. Ia mengatakan, lokasi pabrik dari bibir pantai sekitar 100 kilometer (km). Sungai Musi yang menjadi jalur transportasi mengalami pendangkalan di lima titik dari bibir pantai ke lokasi pabrik. Karena itu, perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut.
"Kami sudah bersedia membeli gas dengan harga 6 dolar AS per MMBTU, tapi jangan sampai nanti malah terkendala memasarkan produk keluar karena ada pendangkalan itu," ujarnya.
Adapun pabrik kedua di Bintu, Papua Barat yakni dibangun langsung oleh PT Pupuk Kalimantan Timur. "Pabrik ini pengembangan baru dengan area baru di Papua Barat. Kami rencanakan pembangunan pabrik amonia dan urea serta methanol," kata Bakir.
Ia menjelaskan, kebutuhan pendanaan untuk pembangunan pabrik baru tersebut rencananya akan dipenuhi dari rencana initial public offering (IPO) Pupuk Kaltim pada kuartal kedua 2022. Adapun, kapasitas produksi amonia ditargetkan sebesar 2.500 MTPD, urea 3.500 MTPD, serta methanol 3.000 MTPD. Jika sesuai rencana, pabrik Bintuni diharapkan bisa beroperasi pada kuartal keempat tahun 2027 mendatang.
Soal kebutuhan bahan baku gas, Bakir menjelaskan telah menjalin kesepakatan dengan Genting Oil Kasuri Pte. Ltd. dengan jangka waktu 20 tahun untuk amonia dan urea serta 17 tahun untuk methanol.
"Harga gas cukup kompetitif dibanding pabrik Pusri III B, yakni 3,6 dolar AS per MMBTU ditambah formula dengan masing-masing jenis produksi. Jadi nanti akan fluktuatif tapi ada batasnya," kata dia.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung, dalam kesimpulan rapat menyampaikan, dewan mendukung rencana pembangunan pabrik pupuk dan revitalisasi industri Pupuk Indonesia sekaligus meminta agar melakukan kerja sama dengan berbagai pihak demi mengatasi hambatan yang dihadapi.
Perseroan juga diminta untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan melakukan efisiensi secara berkesinambungan dan tidak meninggalkan fokus pada lini usaha produksi dan distribusi pupuk. Selain itu, Komisi IV juga meminta Pupuk Indonesia agar dapat menyelesaikan permasalahan kelangkaan pupuk di lapangan mulai dari masalah pasokan, keterbatasan pupuk, dan distribusinya.