REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satgas Penanganan Covid-19 meminta masyarakat tidak menafsirkan secara sepihak terkait meningkatkan tren positivity rate Covid-19 di Indonesia. Satgas mengungkapkan ada alasan khusus di balik tingginya positivity rate Covid-19 di Tanah Air.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, positivity rate ditentukan dari jumlah orang yang diperiksa. Maka dari itu, ada beberapa kondisi yang mempengaruhi akurasinya.
Salah satu hambatan dalam mengejar kapasitas testing, menurut Wiku, adalah terbatasnya sumber daya dan akses pada fasilitas test. Selama ini, imbuhnya, tes diprioritaskan untuk orang yang sudah memiliki gejala atau kontak berat. Akibatnya, tidak mengherankan jika hasil tes cenderung menunjukkan hasil positif Covid-19.
"Karena sudah dikerucutkan pada orang yang memiliki gejala atau kontak. Di Indonesia, umumnya orang sehat tidak menjalani tes Covid-19. dan ini dapat mempengaruhi angka positivity rate," kata Wiku dalam siaran pers, Jumat (25/6).
Kementerian Kesehatan pun sudah menerbitkan Keputusan Menkes nomor HK.01.07/MENKES/446/2021 yang menetapkan penggunaan rapid test antigen sebagai salah satu metode pemeriksaan Covid-19. Wiku menyampaikan, kebijakan mengenai screening ini akan terus diperbarui dengan mempertimbangkan kenyamanan masyarakat termasuk untuk mereka yang mobilitasnya tinggi.
"Ini mempertimbangkan atigen jauh lebih cepat dan murah. Dengan akurasi mendekati tes PCR. Antigen digunakan untuk melacak kontak erat. Penegakan diagnosisi dan skrining Covid-19 dengan kondisi tertentu seperti menghadiri kegiatan atau sebagai syarat bila seseorang ingin melakukan perjalanan," kata Wiku.
Data Satgas menunjukkan, jumlah pemeriksaan dengan antigen melebihi jumlah pemeriksaan dengan PCR dan TCM dalam enam pekan terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa metode rapid test ini mulai mendominasi pemeriksaan Covid-19 di Tanah Air.