REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi tak sepakat dengan pelaporan Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari ke polisi karena dianggap melanggar konstitusi. Menurutnya, gagasan mendukung Joko Widodo memimpin 3 periode tak melanggar hukum pidana.
Aziezi menjelaskan kepolisian bertugas menindak perkara pidana dalam penegakan hukum. Syarat menjadi perkara pidana ialah harus ada tindak pidana dan pasal-pasal tertentu yang melarang tindakan itu.
"Tidak ada pasal pidana yang melarang menggaungkan hal-hal yang lain dengan konstitusi semacam presiden 3 periode. Jadi, ya tidak bisa diproses secara pidana," kata Aziezi kepada Republika.co.id, Jumat (25/6).
Aziezi menekankan gagasan perpanjangan jabatan Presiden sah-sah saja dalam negara demokrasi. Unsur pidana baru bisa terpenuhi bila gagasan tersebut dipaksakan dengan kekerasan.
"Ekspresi apapun, termasuk ekspresi politik kayak menggaungkan perubahan konstitusi, bahkan minta merdeka dan lepas dari Wilayah negara, sepanjang dilakukan dengan damai (peacefull), seharusnya dipandang sebagai ekapresi yang sah. Kecuali, dilakukan dengan kekerasan," jelas Aziezi.
Aziezi menyebut kepolisian tetap bisa menerima pengaduan terhadap Qodari sebagai bentuk layanan publik. Hanya saja, ia ragu laporan publik itu akan ditindaklanjuti oleh kepolisian.
"Seharusnya, tidak ada proses hukum terhadap hal-hal seperti itu karena memang tidak ada pasal pidana yang bisa digunakan, kecuali kalau dipaksakan dan ditarik-tarik ke sana kemari," ujar Aziezi.
Selain itu, Aziezi menyarankan kepolisian dan publik untuk menghiraukan wacana tersebut. Menurutnya, gagasan itu mestinya dihadapkan dengan gagasan berbeda. "Counter saja narasinya dimana gaung-gaung itu ada. Jadi, yang tercipta adalah debat dan diskusi, bukan lapor melapor pakai polisi," ucap Aziezi.
Sebelumnya, Qodari dilaporkan ke Polda Sumut oleh Gerindra Masa Depan (GMD) karena mengusulkan wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiga periode. Langkah Qodari itu dinilai melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.