REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Laporan terbaru mengatakan China menggunakan kekuatan ekonominya di sebagian besar Asia dan Timur Tengah untuk menargetkan Muslim Uighur yang tinggal di luar perbatasannya melalui sistem transnasional yang luas. Hal tersebut dirilis dalam laporan oleh Oxus Society for Central Asian Affairs and the Uyghur Human Rights Project.
Menurut laporan tersebut, tindakan keras Beijing terhadap provinsi Xinjiang bertepatan dengan peningkatan upaya untuk mengendalikan warga Uighur yang tinggal di luar negeri. Dalam database yang memetakan penargetan Uighur di luar negeri oleh Beijing sejak 1997, para peneliti di Oxus Society memeriksa lebih dari 1.500 kasus penahanan dan deportasi warga Uighur di luar negeri.
Mereka memperingatkan jumlah itu hampir pasti hanya puncak dari gunung es. Mereka menemukan setidaknya 28 negara telah terlibat di beberapa titik, kebanyakan dari mereka di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan, dengan tingkat insiden yang meningkat secara dramatis dari 2017.
"Kami telah fokus pada apa yang terjadi di Xinjiang, di mana ada negara pengawasan berteknologi tinggi yang sedang dibangun. Namun apa yang terjadi juga adalah bahwa negara bagian ini diekspor ke seluruh dunia," ujar Direktur Penelitian di Oxus Society, Bradley Jardine, dikutip laman The Guardian, Sabtu (26/6).
Dirilis pekan ini, laporan No Space Left to Run menyerukan negara-negara barat untuk menerima lebih banyak pengungsi Uighur dan untuk regulasi ekspor teknologi pengawasan yang lebih besar. "Menghentikan represi transnasional semacam itu adalah keharusan moral," kata Jardine.
"Berdiri diam sementara pemerintah China menargetkan warganya di luar negeri dengan impunitas juga merusak kredibilitas negara untuk melindungi mereka yang berada di dalam perbatasan mereka, termasuk warga negara mereka sendiri," ujarnya menambahkan.
Menurut Kongres Uighur Dunia, diperkirakan 1 hingga 1,6 juta orang Uighur tinggal di luar China. Populasi terbesar ada di Asia Tengah dan Turki.
Namun, database baru mengungkapkan skala penargetan Beijing, dengan negara-negara di seluruh dunia memainkan peran dalam berbagai praktik termasuk pelecehan, pengawasan, penahanan, dan rekondisi. Sejak 2017, setidaknya 695 orang Uighur telah ditahan atau dideportasi ke China dari 15 negara.
Laporan Oxius menyebut kekuatan ekonomi China memungkinkannya untuk menekan negara-negara untuk memperdagangkan hak asasi manusia demi keuntungan finansial. Peluncuran proyek infrastruktur global Belt and Road Initiative (BRI) menciptakan ruang lingkup yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk represi transnasional.
Dari 10 negara di mana mereka menemukan China paling sering menggunakan represi transnasional terhadap Uighur, Beijing termasuk di antara kreditur terbesar di empat negara yakni Pakistan, Kirgistan, Kamboja, dan Myanmar. "Di negara-negara lain di mana penindasan (terhadap Uighur) tumbuh, seperti Mesir, Turki, dan Timur Tengah yang lebih luas, China telah muncul sebagai mitra ekonomi penting melalui proyek dan infrastruktur terkait BRI," catat mereka dalam laporannya.
Ketika China memperluas perannya secara global melalui BRI, lebih banyak negara kemungkinan akan terkunci dalam hubungan ketergantungan. Ini meningkatkan kemampuan China untuk memaksa atau mengkooptasi mereka untuk membantu menargetkan anggota diaspora dan orang buangan. Tidak terkendali, perang global China terhadap Uighur akan terus berkembang dan berakselerasi seperti yang terjadi selama lima tahun terakhir.
China secara konsisten membantah semua tuduhan melakukan kesalahan di Xinjiang. Pemerintah Xi Jinping mengatakan kamp pendidikan ulang dirancang untuk menawarkan pelajaran bahasa Mandarin dan dukungan pekerjaan, serta untuk memerangi ekstremisme agama.