REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengenai tarif baru parkir, yakni maksimal untuk mobil Rp 60 ribu per jam dan motor Rp 18 ribu per jam mengundang kritik. Usulan itu dinilai tidak tepat dilakukan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini.
Anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak mengatakan, salah satu tujuan yang hendak dicapai dari tarif parkir yang mahal adalah mengalihkan massa untuk berpindah menggunakan moda transportasi umum. Namun, ini tidaklah tepat apabila dilakukan saat kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir.
“Penularan di (transportasi publik) sana juga berdampak ke peningkatan kasus Covid-19, sebab 62 persennya yang dirawat merupakan pengguna transportasi publik,” kata dia kepada Republika, Ahad (27/6).
“Ini kebijakan yang tidak tepat, di waktu yang juga tidak tepat,” tambahnya.
Apalagi, ia mengatakan, tarif yang diusulkan terlalu mahal. Ia lalu membandingkan tarif parkir yang diusulkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
“Di Kuala Lumpur tarif parkir 4,53 dolar AS (Rp 65.490) per dua jam, Singapura 1,90 dolar AS (Rp 27.468) per dua jam,” kata Gilbert.
Gilbert menilai, jika tarif yang baru berlaku maka nilainya lebih mahal dibandingkan dua negara tetangga lain. Padahal, pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) dalam negeri tidak setinggi dua negara tersebut.
“Karena itu tergantung lokasi, bisa Rp 60 ribu dekat lokasi misalnya di dekat MRT. Apa ini tidak terlalu mahal? Karena GDP kita jauh di bawah Malaysia dan Singapura, tapi tarifnya lebih mahal,” terang dia.
Menyoal tarif parkir yang mahal, pengamat transportasi publik, Djoko Setijowarno, justru menilai parkir yang sebenarnya sebagai bagian dari instrumen manajemen transportasi perkotaan sudah memudar. “Di banyak kota-kota modern, besar tarif parkir 30-40 kali lipat dibandingkan tarif menggunakan transportasi umum,” terang dia saat dihubungi Republika.
Selain itu, lahan parkir yang makin susah dicari di pusat kota membuat on street parking ditiadakan. Djoko menilai, usulan mengenai kenaikan tarif parkir ini tentu memiliki tujuan yang baik. Namun saat ini lahan parkir sudah telanjur dipandang alat untuk bagi-bagi lahan kepala daerah.
“Itu sudah hampir terjadi di seluruh kota-kota Indonesia,” ujarnya.
Pada 2012 lalu, Djoko pernah menghitung bahwa pendapatan on street parking di Jakarta nilainya mencapai Rp 1 triliun. Kemudian, sempat ada perbaikan pemungutan parkir melalui tarif retribusi parkir di tepi jalan.
Hal itu, Djoko mengatakan, membuat pemasukan juru parkir mengalami peningkatan. Di samping itu, mereka juga mendapatkan gaji bulanan. Sayangnya, hal tersebut nampaknya sudah tidak diteruskan lagi saat ini.
“Saat itu pemasukan cukup meningkat, jukir lebih sejahtera, dapat gaji bulan dan jaminan kesehatan. Ada hari libur setiap minggu, kerjanya pun 8 jam sehari,” terang dia.
Kendati demikian, ia menilai pengaturan tarif parkir yang tinggi merupakan bagian dari push strategy dalam manajemen transportasi perkotaan. Dia pun berharap agar pemprov dapat membuat peraturan daerah yang lebih baik supaya nantinya aturan tidak berganti-ganti mengikuti siapa kepala daerahnya.
“Bisa dibuatkan perda lebih baik, agar kepala daerah berikutnya dapat meneruskan, tidak seperti larangan sepeda motor yang hanya Pergub, ketika ganti kepala daerah ada yang protes melalui MA dan dikabulkan, lantas digugurkan,” ujarnya.