REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengungkapkan peran KBRI Singapura dalam penangkapan terpidana buron, Hendra Subrata. Kemenkumham mengatakan, penangkapan Hendra Subrata tak lepas dari kejelian KBRI dalam melihat permohonan penggantian paspor.
Hendra Subrata saat itu tengah mengajukan penggantian paspor dengan nama Endang Rifai. Selain membawa identitas, Endang juga memberikan surat keterangan dokter yang menyatakan ia merupakan pasien di salah satu rumah sakit di Singapura dengan keterangan tambahan bahwa istrinya, Linawaty Widjaja, dalam keadaan stroke.
"Endang Rifai mengaku, alasannya tinggal di Singapura adalah mendampingi istri yang sedang sakit," kata Kepala Bagian Humas dan Umum Arya Pradhana Anggakara dalam keterangan, Ahad (27/6).
Dia menjelaskan, Linawaty Widjaja terlebih dahulu telah mengajukan permohonan penggantian paspor di KBRI Singapura pada 28 Mei 2020 lalu. Ia mengatakan, petugas kemudian meneliti dan mendalami berkas yang diberikan Endang Rifai.
Dari data tersebut kemudian ditemukan adanya ketidaksesuaian antara data yang dilampirkan Hendra dengan data yang dilampirkan Linawaty Widjaja saat itu. Kartu Keluarga yang dilampirkan Linawaty menyatakan nama suaminya adalah Hendra Subrata.
Arya menjelaskan, berdasarkan hasil temuan tersebut maka Endang Rifai diduga kuat merupakan orang yang sama dengan Hendra Subrata. Nama lahir dari Endang Rifai yakni Jong Khim Tjiang yang mana berdasarkan Surat Pernyataan Ganti Nama No. 127/I/Kep/12/1966 Tanggal 1 Juli 1968, nama tersebut diganti menjadi Hendra Subrata.
"Hasil pendalaman Atase Imigrasi bekerja sama dengan atase kepolisian KBRI Singapura berhasil mengidentifikasikan bahwa kedua nama tersebut merupakan orang yang sama," katanya.
Arya mengatakan, paspor atas nama Endang Rifai alias Hendra Subrata telah ditarik dan diterbitkan SPLP untuk pemulangan ke Indonesia. Dia melanjutkan, Endang alias Hendra dipulangkan ke Indonesia pada Sabtu (26/6) dengan penerbangan dari Singapura ke Bandara Soekarno-Hatta.
"Selanjutnya yang bersangkutan akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk proses eksekusi," katanya.
Hendra Subrata diduga telah melanggar pasal 126 huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yaitu memberikan data yang tidak sah dan keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Dokumen Perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Sebelumnya, Hendra Subrata merupakan terpidana kasus percobaan pembunuhan. Dia akhirnya tertangkap setelah 10 tahun menghilang sejak divonis empat tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat.