REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Atsumare… Kyotsuke. Yasume. Naore. Gun no keirei.
Itulah aba-aba dalam tentara Jepang yang artinya: Berkumpul dan berbaris…Bersiap. Istirahat di tempat. Tegak. Hormat militer.
Aba-aba militer itu menjadi salah satu kenangan bagi para pemuda Indonesia yang pernah mengikuti pendidikan militer saat penjajahan Jepang. Termasuk bagi Jenderal TNI (Purn) Wijoyo Suyono (93 tahun). Ejaan lamanya: Widjojo Soejono.
Ia dilantik pada Juni 1945 sebagai perwira pertama setingkat komandan peleton (Letnan Dua/Letda) PETA (Pembela Tanah Air). Menggunakan topi pet, seragam hijau berkerah putih lengkap dengan samurai yang bertengger di pinggangnya. Saat itu, ia adalah seorang remaja pria berusia 17 tahun satu bulan.
“Saya lulusan termuda pendidikan Shodanco PETA,” kata mantan Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamib) pada 1980-1982, suatu ketika ditemui Republika di rumahnya sambil mengenang peristiwa tahun 1945.
Diwisuda sebagai perwira setelah menyelesaikan pendidikan perwira sukarela PETA di Bogor.Kini markas Pendidikan PETA menjadi Museum dan Monumen PETA di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 35, Kota Bogor, Jawa Barat. Satu rangkaian bangunan dengan Pusat Pendidikan Zeni Angkatan Darat.
Paramiliter Jepang
PETA adalah kesatuan para militer sukarela yang dibentuk Jepang pada 3 Oktober 1943, saat penjajahan Dai Nippon di Indonesia. Lahirnya PETA tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan Jepang untuk memperkuat militernya dalam Perang Dunia II (PD II). Personel PETA adalah para pemuda Indonesia dan dibentuk untuk membela Tanah Air dari ancaman Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya yang dihadapi Jepang.
Wijoyo Suyono sesungguhnya tidak memenuhi syarat saat mendaftar sekolah perwira untuk menduduki posisi komandan peleton (Shodancho). Persyaratan untuk mengikuti pendidikan Shoodancho PETA selama sekitar empat bulan itu, minimal berusia 18 tahun dan maksimal 25 tahun. Padahal saat mendaftar, usia Wijoyo pun belum genap 17 tahun. Ia sesungguhnya baru berusia 16,5 tahun.
"Saya akali agar bisa diterima mengikuti pendidikan Shodanco PETA,” kata Wijoyo, suami dari almarhumah Siti Mastoechajah. Dari perkawinannya, dikaruniai lima anak, yakni Enny Lukitaning Diah, Wedhia Purwaningsih, Ariyati Sihwarini, Hardini Surjaningsih, dan Budhi Soejono. Data seperti tertulis dalam Wikipedia.
Wijoyo dilahirkan di Tulungagung, Jawa Timur pada 9 Mei 1928. Ia putra bungsu dari 15 bersaudara. Ayahnya Martodidjojo, garis leluhurnya berasal dari Surakarta. Ibunya, Roesmirah, memiliki leluhur dari Yogyakarta. Wijoyo kerap di panggil dengan sebutan Willy. Ia menempuh sekolah dasar (SD), bahasa Belandanya lager onderwijs di HIS (Hollandsch-Inlandsche School).
HIS merupakan sekolah Belanda untuk bumi putera pada masa penjajahan. Sekolah ini didirikan di Indonesia pada 1914. HIS termasuk sekolah rendah (SR) dengan bahasa pengantar Belanda (Westersch lager onderwijs). Dibedakan dengan inlandsche school yang menggunakan bahasa daerah.
HIS diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli. Umumnya untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama sekolahnya tujuh tahun.
Kemudian Wijoyo melanjutkan kesekolah teknik di Surabaya. Pada zaman penjajahan Belanda bernama KES (koningen emma school). Di zaman pendudukan Jepang disebut kogyo gakko atau sekolah pertukangan dengan lama pendidikan empat tahun. Sekolah tersebut kini bernama SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) I Surabaya.
Tinggalkan Sekolah
Saat mengikuti pendidikan KES dan bergantinama kogyo gakko, Wijoyo tertarik dengan pengumuman dari PETA. Dia pun meninggalkan bangku sekolah untuk mendaftar menjadi tentara sukarela. Pemerintah Jepang membagi beberapa tingkatan sekolah paramiliter PETA.
Daidanco adalah pasukan PETA yang paling tinggi, yakni batalyon (setingkat mayor). Cudanco merupakan komandan kompi (setingkat Kapten) bagi lulusan setingkat sekolah menengah atas dan pernah mengenyam pendidikan militer Jepang.
Shodanco (setingkat Letda) bagi masyarakat yang pernah mengenyam sekolah tingkat menengah pertama. Budanco (setingkat Sersan Dua) adalahanggota yang pernah mengenyam bangku pendidikan SD. Giyuhei (setingkat Prajurit Dua) adalah anggota PETA yang belum lulus SD.
Dari sisi pendidikan umum, Wijoyo menenuhi syarat untuk mengikuti sekolah tingkat Shodanco (komandan peleton). Namun, ia terkendala umurnya yang belum genap 18 tahun. Ia pun mengakali ijazahnya diubah kelahirannya menjadi satu tahun lebih tua. Dari tahun 1928 digantinya menjadi 1927.
Saat itu administrasi ijazah maupun raport sekolah belum terlalu ketat seperti saat ini. Usai lulus pendidikan Shodanco, ia mengawali karier di dunia kemiliteran. Ditempatkan sebagai komandan peleton di Batalyon 4 Karesidenan Malang, Jawa Timur. Namun tak disangka, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945.
Dua hari kemudian, Republik Indonesia diproklamasikan di saat negara dalam keadaan kekosongan kekuasaan. Penjajah Jepang menyerah dan Tentara Sekutu (Belanda dan negara lainnya) tidak ada di Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan membubarkan PETA. Pembubaran PETA terjadi setelah Panglima Tentara ke-16 di Jawa, Jenderal Nagano Yuichito mengucapkan perpisahan pada anggota kesatuan Jepang.
Ketika pemerintah Indonesia membentuk sebuah badan resmi untuk menjaga kedaulatan negara, anggota PETA diajak untuk bergabung. Pemerintah Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tentara PETA, Gyugun, Heiho, Kaigun, dan Kompeiho Heiho, dikumpulkan kembali untuk bergabung.
Gyugun selain di Jawa dibentuk pula di Sumatra. Gyugun setara dengan Cudanco, membentuk komandan kompi. Syarat pendidikan minimalnya sekolah menengah. Bedanya di Pulau Jawa, pangkatnya Kapten. Sedangkan di Sumatra, pangkatnya Letnan Satu (Lettu). Namun sama-sama untuk posisi komandan kompi.
Heiho adalah tentara pembantu. Sebuah pasukan yang terdiri dari masyarakat yang dibentuk tentaraJepang pada masa Perang Dunia (PD) II. Heiho syarat pendidikan minimalnya tamatan SD. Kaigun adalah pendidikan menjadi tentara laut Kekaisaran Jepang. Sedangkan Kompeiho adalah pendidikan polisi rahasia tentara Jepang.
Bergabung dengan BKR
Alumni pendidikan tentara PETA, Gyugun, bekas tentara Heiho, Kaigun, dan Kompeiho dikumpulkan kembali. Di situlah awalnya dibentuk BKR,kemudian menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), dan akhirya berubah sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1947.
Usai Jepang menyerah dibentuklah sekolah-sekolah militer untuk mencetak perwira Indonesia. Pada akhir Oktober-November 1945 dibentuk dua Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta dan Tangerang, lama pendidikan dua sampai tiga tahun. Selai nitu diberbagai tempat lain, seperti Malang, Mojoagung, Salatiga, Tangerang, Palembang, Bukit Tinggi, Brastagi, dan Prapat, didirikan pula Sekolah Perwira Darurat untuk memenuhi kebutuhan TNI.
Setelah PETA dibubarkan, Wijoyo bergabung dengan BKR di Kota Surabaya. Lokasinya di bekas gedung Hogere Burger School (HBS), kini disebut Jalan Wijaya Kusuma. Inilah cikal bakal dari Resimen 1 Divisi VI di kemudian hari. Letda Wijoyo mendapatkan tugas di Staf Resimen.
Pada akhir 1946, selesai penarikan tentara Inggris keluar wilayah Indonesia. Namun, ternyata perang mempertahankan kemerdekaan melawan Agresi Belanda memanggil para lulusan PETA untuk berada di front terdepan. Kekuatan TRI di Jawa Timur terdiri atas tiga divisi, yaitu Divisi V Ronggolawe, Divisi VI Narotama, dan Divisi VII Untung Surapati.
Front dari Divisi VI Narotama menghadapi kekuatan utama tentara Belanda di Surabaya dan sekitarnya. Divisi ini terdiri dari tiga resimen. Resimen I di Kota Surabaya dan mendapatkan porsi terbesar tugas pertahanan.