Selasa 29 Jun 2021 05:28 WIB

KontraS Kecam Sikap UI Soal Jokowi: The King of Lip Service

KontraS mengatakan pemanggilan mahasiswa merupakan indikasi pemberangusan kebebasan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk tindakan pembungkaman berekspresi dan berpendapat, khususnya di ruang-ruang akademis seperti di kampus. Kecaman sebagai respons merespons sikap Universitas Indonesia (UI) yang memanggil mahasiswanya akibat unggahan
Foto: Humas UI
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk tindakan pembungkaman berekspresi dan berpendapat, khususnya di ruang-ruang akademis seperti di kampus. Kecaman sebagai respons merespons sikap Universitas Indonesia (UI) yang memanggil mahasiswanya akibat unggahan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk tindakan pembungkaman berekspresi dan berpendapat, khususnya di ruang-ruang akademis seperti di kampus. Kecaman sebagai respons merespons sikap Universitas Indonesia (UI) yang memanggil mahasiswanya akibat unggahan "Jokowi: The King of Lip Service". 

"Kami melihat bahwa upaya pemanggilan semacam ini merupakan indikasi pemberangusan kebebasan akademis dalam kampus," ungkap Koordinator KontraS, Fathia Maulidiyanti, lewat keterangan tertulis yang Republika terima, Senin (28/6). 

Baca Juga

Fathia berpendapat, hal ini juga menegaskan kampus tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Universitas, kata dia, seharusnya dapat melindungi kebebasan akademis, bukan justru mengatur ekspresi mahasiswanya. 

KontraS menilai, apa yang dilakukan oleh Rektorat UI lewat Direktur Kemahasiswaan telah melanggar prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan. Hal tersebut, kata Fathia, diatur dalam Pasal 4 dan 24 UU Sistem Pendidikan Nasional. 

Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 

"Sementara itu, pendidikan tinggi juga wajib menjunjung kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Sistem Pendidikan Nasional," kata dia. 

Selain itu, menurut Fathia, tindakan Rektorat UI juga telah menyalahi sembilan nilai UI, yang salah satunya mencantumkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Nilai tersebut mewajibkan seluruh civitas akademika UI untuk menjunjung kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat di dalam lingkungan UI maupun dalam forum akademik lainnya. 

"Akan tetapi, pemanggilan terhadap 10 mahasiswa UI yang berpendapat lewat akun sosial media BEM begitu jauh dari implementasi nilai-nilai ini," kata dia. 

Fathia menjelaskan, tindakan yang dilakukan oleh BEM UI lewat postingannya juga merupakan bentuk kemerdekaan penyampaian pendapat yang sah. Hal itu sebagaimana diatur dalam instrumen hukum HAM nasional maupun Internasional. 

Walaupun kasus ini belum menyentuh ranah pidana, KontraS menilai potensi kasus-kasus serupa sangat besar berlanjut ke tahap pemolisian. Sebab, masih ada UU ITE yang didalamnya terdapat delik pencemaran nama baik dan setiap waktu bisa menjerat mereka yang kritis di ruang digital. 

Di samping itu, rancangan KUHP saat ini kembali mengaktifkan delik penghinaan presiden, meski sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal karet tersebut akan dihidupkan kembali dan siap untuk mengkriminalisasi mereka yang aktif mengkritisi kebijakan maupun ucapan yang keluar dari mulut presiden, utamanya lawan-lawan politik pemerintah. 

"Kasus pembungkaman kebebasan akademis UI merupakan rentetan panjang praktik-praktik pembungkaman ekspresi mahasiswa dalam kampus. Mahasiswa yang kritis kerap kali terbelenggu oleh sikap mental Rektorat yang anti kritik," kata Fathia. 

Tidak sampai direpresi oleh pihak kampus saja, pasca dikeluarkannya infografis kritik terhadap presiden tersebut, akun media sosial beberapa fungsionaris BEM UI juga diretas. KontraS melihat peretasan merupakan salah satu bentuk teror digital yang bertujuan untuk memberikan rasa takut. 

Fathia mengungkapkan, praktik ini bukan kali pertama, rentetan kasus peretasan seringkali terjadi khususnya bagi pihak-pihak yang lantang menyeimbangkan diskursus pemerintah. Beberapa kasus diantaranya misalnya peretasan yang dilakukan kepada panitia yang menyelenggarakan diskusi Papua dan diskusi terkait impeachment Presiden. 

"Kami melihat dari beberapa praktik peretasan dan serangan digital yang pernah terjadi, pelaku tidak pernah diungkap secara jelas," ungkap dia. 

Praktik pembiaran, kata Fathia, dilakukan oleh negara secara terus menerus, hingga menimbulkan hal yang berulang. Padahal, praktik teror digital ini merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan berpendapat, sebab menimbulkan efek ketakutan. 

"Kami mendesak pihak kepolisian agar mengusut tuntas praktik peretasan ini demi mencegah terjadinya praktik-praktik serupa di masa mendatang," kata dia. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement