REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Dessy Suciati Saputri, Inas Widyanuratikah, Haura Hafizhah
Pengamat politik, Rocky Gerung, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengingatkan masyarakat Indonesia memiliki budaya tata krama dan juga sopan santun yang harus tetap dipegang teguh. Respons Jokowi ini ditujukan terhadap meme dari BEM UI yang menyebutkan dirinya merupakan "The King of Lip Service".
"Saya mau kasih poin, sopan santun itu adalah kemunafikan di dalam politik," ujar Rocky dalam diskusi daring yang digelar Greenpeace Indonesia pada Selasa (29/6) malam.
Rocky menuturkan, tata krama berlaku bagi antarorang, bukan antara kritikus dan orang yang dikritik. Hal yang tidak boleh dalam memberikan kritik adalah kekerasan yang berujung kriminalitas.
"Walaupun hidungnya sepanjang pinokio, kita enggak boleh tonjok itu, karena di situ batas kriminalitas. Begitu Anda sentuh tubuh seseorang itu bukan lagi kritik, tetapi menghina otonomi tubuhnya," tutur dia.
Dengan demikian, Rocky melanjutkan, timbul permasalahan atau kecurigaan di kalangan publik. Sehingga, BEM UI menganggap sikap Jokowi sama seperti Presiden Soeharto dahulu yang memperbolehlan kritik asal tidak melanggar aturan.
Padahal, menurut dia, kritikan memang disampaikan terhadap aturan tersebut. Rocky mengatakan, kritikan dari rakyat merupakan upaya menciptakan perubahan. Dalam kritikan yang disampaikan rakyat pun tidak perlu ada solusi karena tugas pejabat negara lah yang mencari solusi tersebut.
"Siapa yang mesti bikin solusi? Orang yang kita gaji," kata Rocky.
JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE pic.twitter.com/EVkE1Fp7vz
— BEM UI (@BEMUI_Official) June 26, 2021
Beberapa hari terakhir, media sosial ramai dengan meme yang dibuat dan diunggah di akun resmi BEM UI dengan menuliskan ‘Jokowi: The King of Lip Service’ atau yang berarti Jokowi merupakan Presiden yang suka mengumbar janji. Di akun tersebut juga menyoroti janji-janji yang diberikan Jokowi namun tak sesuai dengan realitanya.
“JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE. Halo, UI dan Indonesia! Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu,” kata BEM UI lewat unggahannya pada Sabtu (26/6) kemarin.
Pro kontra dari meme ini pun bermunculan di kalangan warganet, hingga akhirnya rektorat memanggil BEM UI pada Ahad (27/6) untuk melakukan dialog terkait meme tersebut.
Presiden Jokowi hari ini meminta universitas agar tak perlu menghalangi para mahasiswanya dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat. Jokowi menilai, tindakan para mahasiswa UI tersebut merupakan bentuk ekspresinya kepada pemerintah.
“Ya saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi, jadi kritik itu ya boleh-boleh saja. Dan universitas tidak, tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi,” ujar Jokowi dalam pernyataannya yang diunggah di Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (29/6).
Jokowi menyebut tak sekali ini ia menerima kritikan dari masyarakat. Sebelumnya, ia juga mengaku mendapatkan berbagai kritikan yang menyebutkan bahwa dirinya merupakan pemimpin yang otoriter, klemar-klemer, plonga-plongo, bapak bipang, dan lain-lain. Meskipun begitu, ia mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki budaya tata krama dan juga sopan santun.
“Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan, ya saya kira biasa saja,” ucap dia.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam menilai tidak ada masalah terkait meme viral soal Presiden Joko Widodo yang dibuat BEM UI. Pemanggilan yang dilakukan rektorat kepala BEM UI menurutnya adalah hal yang wajar.
"Saya sudah klarifikasi ke teman-teman UI, tidak ada masalah kok. Saya yakin UI merupakan salah satu garda depan demokrasi yang sangat menghargai kebebasan mimbar akademik," kata Nizam, dihubungi Republika, Selasa (29/6).
Ia pun menilai pihak kampus dan mahasiswa memang harus selalu berdialog membahas berbagai macam masalah. "Dialog antarpimpinan perguruan tinggi dengan mahasiswanya kan ya hal biasa. Kalau tidak ada dialog malah aneh," kata dia menambahkan.
Nizam juga mengatakan berdasarkan komunikasi dengan UI, tidak akan ada sanksi untuk BEM UI. Menurutnya, kejadian ini adalah hal biasa di kampus dan merupakan bentuk komunikasi.
"Enggak usah dibesar-besarkanlah," ujarnya.
Republika sudah berulang kali mencoba mengonfirmasi kepada pihak Rektorat UI terkait pemanggilan BEM UI pada Ahad (27/6) lalu. Namun, baik panggilan telepon dan pesan teks hingga hari ini tidak direspons oleh bagian Humas UI.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo menyarankan, pihak Rektorat UI membuka ruang dialog terbuka secara ilmiah dengan BEM UI untuk membahas terkait permasalahan kritik terhadap Presiden Jokowi. Sehingga, permasalahan ini bisa selesai dan tidak berlarut-larut.
"Saya kira bukan pemanggilan. Tapi pihak Rektorat UI membuka ruang dialog ilmiah dengan BEM UI. Pihak rektorat menghadirkan narasumber dari pemerintahan. Di ruang itu mereka bisa berdiskusi dan membahas tentang kondisi negara secara baik," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (29/6).
Kemudian, ia melanjutkan hal ini menjadi jalan tengah untuk menyikapi kritik yang disampaikan oleh BEM UI. Seharusnya, pihak rektorat UI tidak memperlakukan mahasiswanya seperti terdakwa tapi merangkul dan mengayomi.
"Ada ruang dialog itu mahasiswa bisa diuji secara ilmiah bagaimana kritik mereka dan mereka bisa bertanggung jawab apa yang mereka katakan. Lalu, para dosen jangan mematahkan semangat mereka yang memang sedang kritis-kritisnya," kata dia.