Rabu 30 Jun 2021 10:22 WIB

WHO Nyatakan China Sebagai Negara Bebas Malaria

Malaria ditularkan oleh nyamuk dan menyebabkan ratusan orang meninggal setiap tahun.

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).
Foto: AP
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan China sebagai negara yang bebas dari malaria. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk dan telah membuat ratusan orang harus kehilangan nyawa setiap tahunnya.

Setelah melaporkan nol kasus malaria selama empat tahun terakhir, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mensertifikasi China bebas malaria pada Rabu (30/6). Dalam 70 tahun terakhir, pemerintah negara itu melakukan upaya berkelanjutan untuk membasmi parasit malaria dengan melibatkan 13 kementerian.

Baca Juga

“Hari ini kami mengucapkan selamat kepada China yang telah bebas dari malaria,” ujar direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dilansir CGTN, Rabu (30.6).

Keberhasilan China, dikatakan dapat diraih dengan kerja keras. Tedros mengatakan bahwa semakin banyak negara yang kini menunjukkan kepada dunia bahwa masa depan bebas malaria adalah tujuan yang layak.

Secara global, hanya 40 negara dan wilayah di dunia yang tersertifikasi bebas malaria. China menjadi negara pertama di Wilayah Pasifik Barat WHO yang mendapatkan sertifikasi dalam 30 tahun terakhir. Negara-negara lain di kawasan sama yang juga telah memberantas penyakit akibat nyamuk ini diantaranya adalah Australia (1981), Singapura (1982) dan Brunei Darussalam (1987). Sebagian besar negara maju, seperti AS dan Inggris, yang masing-masing bebas malaria pada 1970 dan 1963.

Penyakit ini menjadi menjadi endemik yang menonjol di China, hingga akhirnya Program Pengendalian Malaria Nasional pada 1955 diluncurkan. Ini melibatkan masyarakat untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk dan penularan parasit.

Sebuah terobosan besar dalam mengobati penyakit terjadi ketika Tu Youyoum, seorang profesor di China mengekstrak senyawa yang disebut artemisinin dari zat yang digunakan dalam pengobatan tradisional. Penemuan ini membantu menyelamatkan ratusan nyawa secara global dan membuatnya meraih Hadiah Nobel pada 2015.

WHO mengatakan artemisinin adalah obat antimalaria paling efektif yang tersedia saat ini. Selain menemukan obatnya, China adalah salah satu negara pertama di dunia yang secara ekstensif menguji penggunaan kelambu berinsektisida (ITN) untuk mencegah malaria.

Pada 1988, lebih dari 2,4 juta kelambu didistribusikan secara nasional untuk melindungi orang dari gigitan nyamuk, yang secara drastis mengurangi kasus malaria. WHO kemudian merekomendasikan ITN untuk pengendalian malaria di negara lain. Penggunaan kelambu yang terjangkau dan mudah digunakan ini secara substansial mengurangi kasus malaria.

“Selama beberapa dekade, kemampuan Cina untuk berpikir membantu negara itu dengan baik dalam menanggapi malaria, dan juga memiliki efek yang signifikan secara global,” jelas Pedro Alonso, direktur Program Malaria Global WHO.

Meski demikian, WHO menyatakan status bebas malaria bukan berarti bahwa suatu negara benar-benar terlindungi oleh parasit. Risiko kasus impor penyakit ini masih menjadi perhatian utama, secara khusus di Cina adalah di Provinsi Yunnan, yang berbatasan dengan tiga negara endemik malaria, yaotu Laos, Myanmar, dan Vietnam.

Warga China yang datang dari wilayah sub-Sahara Afrika dan negara-negara endemik malaria lainnya juga menimbulkan risiko parah untuk mengembangkan kembali penyakit tersebut. Oleh karena itu, inisiatif pengawasan, pemantauan dan pengendalian harus tetap aktif untuk memastikan nol kasus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement