Jasad-jasad berbalut kain berwarna safron mengambang pelan di antara ilalang yang memenuhi bantaran sungai Gangga. Pemandangan itu adalah pengingat, bagaimana rumah sakit dan krematorium di India sedemikian kewalahan menghadapi lonjakan angka pasien Covid-19.
Pemerintah mengakui, banyak keluarga membiarkan jenazah terapung di sungai suci itu lantaran tidak mampu membayar ongkos pemakaman atau kremasi. Sebagian memakamkan jasad anggota keluarga di dalam lubang dangkal di bantaran sungai.
Fenomena itu diperparah oleh musim hujan yang menggandakan kecepatan arus sungai, dan ikut menghanyutkan jasad-jasad tersebut.
Pemerintah kota Allahabad, salah satu kota suci umat Hindu, mencatat pihaknya telah mengkremasi sebanyak 150 jenazah yang ditemukan mengapung di sungai dalam tiga pekan terakhir.
Namun warga lokal meyakini jumlah jenazah yang terapung jauh lebih banyak. Soni Chandel, seorang pengemudi kapal yang bekerja di sebuah krematorium di bantaran Gangga, mengaku terbiasa melihat keluarga membuang jenazah ke sungai.
"Rasanya sedih menyaksikan warga miskin memakamkan anggota keluarga mereka dengan cara tidak bermartabat sepert itu,” ujarnya. "Tapi naiknya permukaan sungai semakin memperparah situasinya.”
"Ada rasa takut jika kapal atau dayung saya menghantam jasad manusia di sungai,” tukasnya.
Pencemaran ancaman bagi kesehatan
Situs keagamaan lain di utara India, seperti Varanasi yang terletak di hilir, ikut mengalami nasib serupa. Warga setempat mengkhawatirkan, jenazah-jenazah itu akan semakin mencemari air Gangga yang dalam kondisi normal pun sudah tergolong kotor.
"Pencemaran ini bisa memicu wabah penyakit berbahaya,” kata Dipun Kumar, seorang warga di bantaran sungai. "Pemerintah harus berbuat sesuatu atau menyusun rencana,” untuk menanggulanginya.
Sungai Gangga juga menjadi episentrum ledakan kasus infeksi corona di India, ketika menjadi penyelenggaraan Festival Khumb Mela, April silam. Saat itu jutaan peziarah memenuhi sungai dan menjalani ritual mandi.
Buntutnya India mengalami arus infeksi tertinggi di dunia, dengan angka infeksi harian sempat melebihi 300.000 kasus. Rumah sakit membeludak, pasien meninggal dunia saat mengantre oksigen, dan krematorium dipenuhi antrean jenazah yang menunggu pembakaran.
Warga lokal mengatakan, biaya pemakaman berkisar USD 100 atau sekitar Rp 1,4 juta. Hal ini semakin membebani keluarga miskin yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.
Kepolisian dan petugas badan penanggulangan bencana setempat kini berpatroli di sekitar sungai untuk mencari jenazah. Pemerintah juga menerjunkan sejumlah kapal untuk menjaring jasad. Namun musim penghujan diklaim mempersulit pekerjaan di lapangan.
"Arusnya sangat kencang. Kami kesulitan menjaring jenazah dari air,” kata seorang perwira kepolisian lokal kepada AFP.
rzn/pkp (afp, ap)