REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Eva Yuliana, menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Banten yang menganulir hukuman mati dua terpidana kasus sabu 821 kilogram menjadi 20 tahun penjara menjadi preseden buruk bagi pemberantasan narkotika di Indonesia. “Di satu sisi presiden, BNN dan Polri mewacanakan war on drugs. Namun, hal itu tidak disambut secara serius oleh lembaga peradilan kita," kata Eva saat dikonfirmasi, Rabu (30/6).
Eva menilai putusan tersebut membuka celah bagi para terpidana untuk menjalankan bisnis narkotikanya dari balik jeruji. Menurutnya, sudah ada beberapa contoh konkret, dimana bandar yang ditangkap merasa lebih aman mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji akibat pengawasan yang tidak maksimum.
"Deterrence effect tidak akan ada, di satu sisi polisi sudah bekerja maksimal dengan melakukan investigasi, penyidikan, dan lain-lain namun dimentahkan begitu saja oleh pengadilan tinggi, wajar jika kita menganggap PT banten 'masuk angin'," ucapnya.
Politikus Partai NasDem itu menuturkan perang terhadap narkoba harus total di semua lini. Menurutnya saat ini pemerintah dan penegak hukum tengah serius mengusut bandar-bandar besar, dan DPR juga berkomitmen merancang kebijakan pro pemberantasan narkoba.
"Lembaga peradilan juga harus meningkatkan kinerjanya dalam memvonis terpidana kasus narkotika," kata dia.
Selain di Banten, sebelumnya penyelundupan sabu-sabu seberat 402 kg ke Indonesia melalui Sukabumi, Jawa Barat juga digagalkan Satgas Merah Putih pada 3 Juni 2020. Narkotika golongan I itu diselundupkan jaringan internasional dengan dikemas mirip bola.
Sebanyak 14 warga Iran, Pakistan dan Indonesia dibekuk. Pengadilan Negeri Cibadak kemudian memvonis 13 dari 14 terdakwa dengan hukuman mati.Namun, Pengadilan Tinggi (PT) Bandung meloloskan enam dari 13 terpidana kasus sabu 402 kg dari hukuman mati menjadi kisaran hukuman 15-18 tahun penjara.