REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 yang melanda dunia tidak menyurutkan langkah para operator-operator layanan telekomunikasi untuk beralih ke teknologi 5G. Persiapan untuk teknologi dan jaringan telekomunikasi yang dapat mentransfer data lebih besar dan lebih cepat ini menjadi tantangan bagi perusahaan operator layanan telekomunikasi.
Direktur Jenderal Penyelenggaan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M Ramli mengatakan, saat memasuki 5G maka isu-isu seperti machine to machine, human to machine, artifisial intelijen, dan penggunaan komunikasi yang bisa menggerakkan robotik dan lainnya mengemuka dengan sangat masif.
"Kalau berangkat dari 4G ke 5G maka sebetulnya kami mendorong yang pertama bisa memanfaatkan secara efisien dan masif itu adalah industri. Awalnya begitu. Kalau industri bisa memanfaatkan ini lebih dulu ini akan sangat bagus," kata Ramli dalam webinar Katadata dengan teman "Menyambut 5G, Apa yang Perlu Dipersiapkan?", Selasa (26/6).
Ramli melanjutkan, bicara 5G maka persiapan yang dilakukan adalah kebijakan. Pemerintah melalui regulasi yang ada saat ini maupun UU cipta kerja menerapkan prinsip teknologi netral. Oleh karena itu semua spektrum yang telah dilisensikan pada operator boleh gunakan dengan teknologi apapun. Jadi tidak perlu lagi meminta izin teknologi baru, frekuensi baru ketika memasukkan 5G sebagai bagian dengan memanfaatkan spektrum yang ada.
Persiapan kedua untuk 5G adalah regulasi. Melalui UU Cipta Kerja, pemerintah mendorong network sharing di mana satu operator dapat menggunakan infrastruktur masif dan pasif operator lain bahkan saling bekerjasama untuk penggunaan frekuensi
"UU Ciptaker membatasi bahwa tv analog stop pada 2 November 2022. Dengan demikian terhemat digital dividen di frekuensi 700 selebar 112 MH. Ini sangat ideal kalo ingin dijadikan bagian dari penopang 5G," ujar Ramli.
Meski teknologi 5G memberi banyak keuntungan, pemerintah tidak akan switch off dengan 4G. Pemerintah menilai 4G dan 5G dapat berjalan bersamaan.
"Karena pengguna 4G dengan device-device sudah familiar dan sudah compatible. Dengan 5G itu sangat masif kemudian perlu waktu yang cukup panjang untuk bergerak seluruhnya ke 5G. Dan Handset sendiri seperti yang kita tahu smart phone yang ada itu baru ada beberapa yang siap 5G masuk ke Indonesia," kata Ramli.
Kominfo mencatat, setidaknya 96% pengguna ponsel pintar (smartphone) di Nusantara menggunakan gawai 4G. Hanya 16% yang masih memakai ponsel lawas (feature) atau berbasis 2G dan 3G.
"Kalau berdasarkan kebutuhan, saya melihat masyarakat masih akan bergerak ke 4G. Tapi kami akan evaluasi dalam lima tahun setelah 5G hadir," ujar Ramli.
Riset dari perusahaan analisis jaringan telekomunikasi, OpenSignal menyebutkan bahwa jaringan 4G masih dibutuhkan di Indonesia. Namun frekuensi 2G dan 3G dinilai perlu dihapus. Dengan begitu, frekuensinya bisa digunakan untuk perluasan 4G atau pengembangan 5G, sehingga menjadi lebih efisien.
GM Network Strategic Roadmap PT Telkomsel, Christian Guna Gustiana mengatakan, Telkomsel memberikan layanan digital broadband terluas di Indonesia dengan 170 juta pelanggan.
"Telkomsel operator pertama yang meluncurkan 5G pada Mei 2021," kata Christian.
Ia menambahkan, 5G Telkomsel berada di 9 Kota berbeda. Telkomsel juga akan mencoba memperbanyak sesuai perkembangan ekosistem dan populasi device.
"Untuk layanan, akan dicover tidak hanya konsumer, tapi B to B," ujarnya.
Ahli Teknologi Institut Teknologi Bandung, Budi Rahardjo menambahkan, akses 5G lebih cepat minimal 1 Gbps, perangkat lebih banyak yang dapat terhubung dan cocok untuk internet of things dengan jumlah perangkat yang banyak, dan low latency.
"Tantangannya harus investasi perangkat baru, belum ada di semua tempat di Indonesia (digital divide is still real), data yang dihasilkan akan semakin banyak, dan model bisnis baru (1 GB habis dalam beberapa detik," kata Budi.