REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyebut tren pembiayaan alternatif pembangunan infrastruktur di daerah masih sangat minim. Hal ini berkaca pada data sejak 2015 sampai 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta pemerintah daerah lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan untuk membangun infrastruktur. Sebab saat ini pembangunan infrastruktur di daerah masih bergantung pada pendanaan dari pemerintah pusat.
“Pembiayaan alternatif seperti skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha, Bank Pembangunan Daerah (BPD), dan special mission vehicle (SMV) masih sangat terbatas,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR seperti dikutip Rabu (30/6).
Sri Mulyani merinci hanya terdapat tujuh daerah yang memanfaatkan pembiayaan infrastruktur melalui SMV Kementerian Keuangan yakni PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) senilai Rp 478 miliar pada 2015. Kemudian, hanya satu daerah yang menggunakan skema KPBU senilai Rp 135 miliar dan tiga daerah melalui PT SMI sebesar Rp 373 miliar pada 2016.
Tahun selanjutnya, hanya terdapat enam daerah yang menggunakan pembiayaan melalui BPD senilai Rp 755 miliar, 11 daerah lewat PT SMI sebesar Rp 2,09 triliun, dan satu daerah melalui perjanjian tingkat layanan atau Service Level Agreement (SLA) Rp 28,03 triliun. Pada 2018, hanya terdapat dua daerah yang menggunakan skema KPBU dalam membiayai infrastruktur senilai Rp 3,35 triliun, 11 daerah melalui BPD Rp 1,55 triliun, dan 29 daerah lewat PT SMI sebesar Rp 6,07 triliun.
Lalu, hanya terdapat 11 daerah yang menggunakan skema pembiayaan BPD sebesar 1,29 triliun dan enam daerah melalui PT SMI yakni Rp 265 miliar pada 2019.
Sri Mulyani menegaskan pemerintah daerah tidak seharusnya mengandalkan pembangunan infrastruktur hanya memanfaatkan anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Pemerintah daerah harus lebih kreatif dan inovatif dalam mencari pembiayaan alternatif.
Hal ini karena APBN dan APBD hanya mampu menyediakan sekitar 30 persen dari kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang mencapai Rp 6.421 triliun sampai 2024.
"Namun pengaturannya tetap harus akuntabel dan prudent. Maka itu terdapat urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), diharapkan menciptakan integrasi antara pengelolaan fiskal pusat dan daerah,” ungkapnya.