REPUBLIKA.CO.ID BANGKOK— Pemerintah Myanmar mulai membebaskan sekitar 2.300 tahanan pada Rabu (30/6).
Mereka yang dibebankan termasuk para aktivis yang ditahan karena memprotes perebutan kekuasaan oleh militer pada Februari dan jurnalis yang melaporkan protes tersebut.
Wakil Menteri Penerangan, Mayjen Zaw Min Tun, sebelumnya mengatakan bahwa sekitar 2.300 tahanan akan dibebaskan secara nasional.
Dia mengatakan kepada kantor berita Cina Xinhua bahwa para tahanan yang dibebaskan adalah kelompok yang ambil bagian dalam protes tetapi tidak ambil bagian dalam kekerasan, yang tidak melakukan kejahatan, dan tidak memimpin kerusuhan.
Bus membawa tahanan keluar dari Penjara Insein Yangon, dengan teman dan keluarga telah menunggu sejak pagi untuk pembebasan yang diumumkan. Ini adalah praktik standar untuk membawa tahanan yang dibebaskan ke kantor polisi untuk menyelesaikan proses pembebasan.
Kepala Departemen Penjara Wilayah Yangon, Zaw Zaw, membenarkan bahwa lebih dari 720 orang telah dibebaskan dari penjara. Namun, tidak semua aktivis dan jurnalis dibebaskan.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan bahwa 5.224 orang ditahan sehubungan dengan protes. Kelompok ini menyimpan penghitungan rinci penangkapan dan korban yang terkait dengan konflik politik negara.
Kebanyakan tahanan politik ditahan dengan tuduhan menghasut kekacauan dan kegelisahan publik, atau berusaha mengganggu pekerjaan pegawai negeri serta anggota militer. Tergantung pada pelanggaran, tuduhan tersebut membawa hukuman penjara maksimum dua atau tiga tahun.
Pemerintah junta Myanmar ingin melunakkan citra internasionalnya. Majelis Umum PBB pada 18 Juni mengeluarkan resolusi yang menyerukan embargo senjata terhadap negara Asia Tenggara itu dan mengutuk perebutan kekuasaan oleh militer. Beberapa negara Barat telah menerapkan sanksi diplomatik dan ekonomi.