Kebijakan Lockdown 7.000 RT Harus Jelas Mekanismenya
Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Perangkat Desa Bener, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang memasang tanda penutupan lingkungan, guna mencegah penularan Covid-19, di wilayah RT 04/ RW 02, Rabu (30/6). RT 04/ RW 02 Desa Bener merupakan satu dari sejumlah RT di kabupaten Semarang yang sudah melockdown lingkungannya. | Foto: Republika/bowo pribadi
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kebijakan Gubernur Jawa Tengah yang menginstruksikan agar semua lingkungan Rukun Tetangga (RT) zona merah risiko penularan Covid-19 butuh mekanisme yang jelas. Terutama melalui koordinasi dan komunikasi yang jelas dengan kepala daerah terkait.
Jika tidak dilakukan dengan mekanisme yang jelas dan koordinasi serta komunikasi yang intens, kebijakan tersebut dikhawatirkan tidak akan efektif dan upaya untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 di masyarakat tidak akan optimal.
Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jateng, Yudi Indras Wiendarto mengungkapkan, instruksi gubernur untuk melakukan lockdown 7.000 RT zona merah di wilayah setempat bukan perkara yang sederhana untuk diimplementasikan.
Karena itu, legislator Partai Gerindra Jateng ini perlu mengkritisi Instruksi Gubernur tersebut. "Mekanismenya harus jelas, juga komunikasi dengan bupati/wali kota daerah yang bersangkutan," ungkapnya, di Semarang, Kamis (1/7).
Tanpa itu semua, Yudi khawatir kebijakan itu hanya menjadi instruksi tanpa ada implementasi yang jelas di lapangan dan bisa-bisa hasilnya masih akan jauh dari apa yang diharapkan oleh gubernur dalam mengendalikan penyebaran Covid-19.
Setidaknya, lanjut dia, ada tiga alasan yang mendasari. Pertama lockdown di tingkat RT bukanlah hal yang mudah bagi Pemprov Jateng. Alasannya, RT merupakan kewenangan bupati dan wali kota.
Jadi tanpa ada komunikasi yang intens dengan masing-masing kepala daerah, maka instruksi lockdown RT zona merah tersebut hanya akan menjadi instruksi yang belum tentu bakal dijalankan dengan optimal di level bawah.
"Saya juga mendukung lockdown itu, karena lonjakan Covid-19 di Jateng demikian tinggi, tapi jangan sampai hanya jadi kebijakan yang tidak ada implementasinya dan itu yang harus ditekankan," tegasnya.
Alasan kedua, lanjutnya, bagaimana mekanisme lanjutan dari kebijakan lockdown ini. Jika sebuah RT diterapkan lockdown, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana langkah untuk mencukupi kebutuhan hidup warganya yang kemudian tidak bisa bekerja.
Jangan dibayangkan semua warganya bekerja di sektor formal yang rutin menerima pendapatan tetap bulanan. Faktanya justru lebih banyak penduduk yang bekerja di sektor informal dan bahkan tak sedikit pula yang harus kerja harian untuk bisa memperoleh pendapatan.
Kalaupun kemudian ada suplai makanan atau bahan kebutuhan pokok, dari mana anggarannya, apakah sudah dikomunikasikan dengan jelas bersama bupati/wali kota. "Saya setuju lockdown tetapi kabupaten/ kota, provinsi serta pusat siap nggak membiayainya," lanjut Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Jateng tersebut.
Menurutnya, jika instruksi itu dari gubernur maka Pemprov Jateng juga mesti cawe-cawe dari sisi anggaran untuk membantu suplai pemenuhan kebutuhan warga di RT yang melakukan lockdown.
Sedangkan alasan yang ketiga, adalah keterbukaan data RT mana saja yang masuk zona merah dan harus dilockdown. Menurutnya keterbukaan data itu justru akan menjadi peringatan dini bagi warga agar tak banyak beraktivitas atau mengurangi kegiatan mereka.
Sebab di level bawah ternyata masih banyak warga di tingkat desa/kelurahan yang tidak disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan. Satgas Covid-19 maupun Satpol PP harusnya bertindak mendisiplinkan sebagaimana awal-awal Covid-19.
Maka tanpa itu semua, lanjut Yudi, instruksi lockdown untuk RT zona merah di Jateng tidak akan optimal dijalankan. "Sehingga kebijakan gubernur tidak akan efektif dan hanya sekadar pencitraan," tegasnya