REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pelaksana Tugas Pemimpin Kota Hong Kong John Lee mengatakan sejak Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional, pusat finansial Asia itu sudah kembali tertib setelah didera gelombang kerusuhan dua tahun lalu.
China memberlakukan undang-undang keamanan nasional pada 30 Juni 2020. Siapapun yang dianggap melakukan subversi, suksesi, terorisme dan kolusi dengan pasukan asing dapat dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup.
Undang-undang keamanan nasional menjadi langkah pertama Beijing mendorong Hong Kong ke jalur otoritarian. Di mulai dengan kampanye ' hanya para patriot yang memerintah di Hong Kong' untuk mengurangi perwakilan sayap pro-demokrasi di legislatif. Lalu disusul dengan berbagai mekanisme seleksi politisi yang maju dalam pemilihan umum.
Dalam upacara peringatan 24 tahun Inggris mengembalikan Hong Kong ke China pada tahun 1997, Lee pertama kalinya berbicara sebagai pelaksana tugas pemimpin kota. Upacara itu bertepatan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China.
Pemimpin Kota Carrie Lam dan pejabat senior Hong Kong lainnya diundang ke Beijing untuk mengikuti perayaan tersebut. Pekan lalu Lee ditunjuk sebagai orang kedua Lam setelah berperan penting dalam penindakan keras pengunjuk rasa tahun lalu ketika ia menjabat sebagai menteri keamanan.
"Dalam beberapa tahun ke depan kami akan melanjutkan sikap stabil untuk melindungi keamanan nasional, Hong Kong jelas dalam kondisi kembali tangguh," kata Lee, Kamis (1/7).
Lee mengatakan undang-undang keamanan nasional dan reformasi elektoral diciptakan untuk 'mengubah masyarakat Hong Kong dari kacau ke tertib'. Kritikus mengatakan pemerintah menggunakan undang-undang keamanan untuk membungkam suara pembangkang.
Beijing dan pemerintah kota Hong Kong membantah tuduhan tersebut. Mereka mengatakan legislasi itu menutup 'celah' yang terekspos dalam unjuk rasa anti pemerintah tahun 2019.
Saat diterapkan tahun lalu pejabat senior China Zhang Xiaoming menyebut undang-undang baru itu sebagai 'hadiah ulang tahun'. Sejauh ini, pihak berwenang Hong Kong telah menggunakan undang-undang tersebut untuk menangkap 117 orang, sebagian besar politisi pro-demokrasi, aktivis, jurnalis dan mahasiswa.