REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen melalui kerjasama internasional pada tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11 persen merupakan sektor utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17 persen.
Hal ini terkandung dalam dokumen kontribusi yang ditentukan secara nasional atau yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC) dan tidak terpisahkan dari ratifikasi Persetujuan Paris dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2016.
Guna mencapai kemandirian dan kedaulatan energi nasional melalui pengetahuan dan pemahaman mengenai isu perubahan iklim dan energi baru terbarukan (EBT) dari sisi kebijakan, implementasi hingga bagaimana kaitannya dengan sosial budaya masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim dengan mengangkat tema “Sinergi Energi dan Perubahan Iklim”, Rabu, (30/6).
Dalam sambutannya, Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, menyampaikan bahwa sinergi energi dan perubahan iklim merupakan kata kunci yang harus dimaknai sebagai upaya bersama dalam membentuk transisi energi secara inklusif.
“Kita semua dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam transisi tersebut. Kesadaran untuk meminimalkan penggunaan sumber energi fosil dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan kontribusi positif dalam menekan perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya,” ujar Agus.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, menyampaikan bahwa dalam NDC, sektor energi ditargetkan menyumbang penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e pada tahun 2030 tanpa bantuan asing. Di sisi lain, target pengurangan emisi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yaitu sekitar 745 juta ton CO2e di tahun 2030. Hal ini dikarenakan adanya permintaan yang berbeda yang disebabkan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi yang berbeda pula.
DEN diamanahkan Presiden untuk membuat Grand Strategi Energi Nasional yang diharapkan dapat memperbaharui RUEN dengan mempertimbangkan faktor kekinian. “NDC dan RUEN akan kita sinkronisasikan, walau dengan time frame yang berbeda, tetapi arahnya sama yaitu untuk mempertajam pengurangan emisi GRK. Tentunya dengan mempertimbangkan asumsi makro yang sama sehingga demand juga sama,” ujar Satya.
Selanjutnya, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, Emma Rachmawaty mengatakan bahwa sektor energi merupakan kontributor kedua penyumbang emisi GRK di Indonesia. Di saat yang bersamaan, sektor energi juga menjadi kontributor kedua dalam menurunkan emisi GRK sehingga perlu melakukan upaya signifikan dalam mengurangi emisi GRK.
Indonesia telah menetapkan implementasi The first NDC pada 1 Januari 2021. Saat ini, KLHK bersama kementerian dan pihak terkait sudah berprogres menyusun updated NDC yang disetarakan dengan Katowice Package, serta penyusunan dokumen Long Term Strategy - Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 sebagai arahan yang akan menjadi masukan untuk Global Stock-take tahun 2023 dan selanjutnya transparansi laporan NDC di tahun 2024 menuju pencapaian target NDC 2030.
“Kita akan fokus dalam subsektor power karena sangat dominan dalam penurunan emisi GRK di sektor energi. Selain itu Carbon Capture and Storage (CCS), Carbon Capture and Utilization (CCU), mobil listrik, dan B30 akan membantu mempercepat transisi energi dan pencapaian Net Zero Emission. Penetapan kebijakan menjadi basis kunci penentuan target-target ke depan yang lebih ambisius lagi,” kata Emma.