REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Pengungsi lokal Suriah khawatir tentang rencana Rusia untuk memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang memperpanjang mekanisme penyaluran bantuan kemanusiaan ke Suriah melalui satu pintu perbatasan Turki.
Jutaan warga sipil yang melarikan diri dari kekerasan rezim Bashar al Assad dan para pendukungnya khawatir bahwa Rusia dapat mencapai niatnya untuk memblokir bantuan yang memasuki daerah itu melalui Bab al-Hawa. Pada Juli tahun lalu, Dewan Keamanan PBB mengizinkan pengiriman bantuan melalui perbatasan Bab al-Hawa hingga 10 Juli 2021, dengan mengadopsi Resolusi 2533 (2020).
Namun, Rusia telah menyatakan bahwa mereka ingin memveto penambahan satu tahun lagi, yang akan mempengaruhi nasib lebih dari 4 juta warga Suriah dan menghalangi mereka dari bantuan kemanusiaan.
Bessam Shamali, salah satu warga sipil yang terdampak akibat perang saudara yang sedang berlangsung di negara itu, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa membatasi perbatasan untuk bantuan akan menjadi bencana.
“Penutupan gerbang berarti penghentian pengobatan dan bantuan lainnya, yang akan menyebabkan bencana besar,” kata Shamali.
Dia meminta pintu perbatasan tetap terbuka, karena “Gerbang perbatasan adalah satu-satunya pintu masuk yang menyelamatkan kami. Makanan, air, obat-obatan kami, semuanya berasal dari gerbang ini. Jika ditutup, rakyat akan sengsara,” ujar dia.
Pengungsi lainnya Nasser Yahya mengatakan, “Saya mungkin bertahan (kelaparan) mungkin selama 10 hari. Tetapi anak-anak tidak bisa bertahan selama satu jam, yang berarti kematian massal akan segera terjadi.”
“Apa yang diinginkan Rusia dari publik? Mereka memaksa kami untuk bermigrasi, memeras rumah kami, aset kami, ladang kami. Sekarang, akhirnya, menutup pintu perbatasan yang kita hirup,” tutur dia.
Puluhan NGO yang beroperasi di Suriah telah mengajukan banding terhadap penutupan gerbang perbatasan Bab al-Hawa antara Turki dan Suriah, jalur terakhir bagi lebih dari 4 juta warga Suriah.
Bantuan Kemanusiaan PBB