Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengritik ekspansi infrastruktur nuklir oleh Cina karena dianggap "berisiko” memicu kebijakan serupa di negara lain. Pembangunan silo di dekat kota Yumen itu juga dinilai menyimpang dari doktrin pencegahan minimal yang dianut Beijing sejak beberapa dekade terakhir.
Dalam jumpa pers di Washington, juru bicara Kemenlu AS, Ned Price, mengatakan Beijing ikut memikul tanggungjawab bersama "mengurangi risiko perlombaan senjata” yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan.
"Perkembangan teranyar menyimpulkan bahwa cadangan hulu ledak nuklir milik Cina bisa bertambah dengan cepat, dan berkembang ke level yang lebih tinggi dari yang selama ini diantisipasi,” ujarnya seperti dilansir Reuters.
"Ekspansi ini mengkhawatirkan,” kata Price lagi. "Ia mencetuskan keraguan terkait niat baik Cina. Dan bagi kami, pembangunan ini semakin menggarisbawahi pentingnya mengambil langkah-langkah praktis untuk meminimalisir risiko nuklir.”
Ekspansi nuklir di Gurun Gobi
Pembangunan 119 silo nuklir oleh Cina di tepi Gurun Gobi pertama kali dilaporkan harian Washington Post, Rabu (30/6) silam. Kesimpulan itu didapat melalui analisa citra satelit teranyar oleh Decker Eveleth, peneliti di Pusat Studi Nonproliferasi James Martin di California, AS.
Menurut laporan itu, ke119 lokasi menampilkan struktur konstruksi yang sama dengan fasilitas peluncuran peluru kendali balistik milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Aerodinamika (CARDC) di Kota Mianyang, Provinsi Sichuan.
Lantaran hanya memiliki antara 250 hingga 300 hulu ledak nuklir, Cina diyakini akan mengosongkan sebagian silo-silo ini untuk mengecoh musuh. Strategi ini pertama kali digunakan AS pada Perang Dingin, ketika Pentagon membangun jejaring silo di penjuru negeri dan memindahkan hulu ledak nuklir secara berkala dari satu silo ke silo lainnya.
Silo nuklir mudah dikenali di dalam citra satelit dan sebabnya tergolong berisiko terkena serangan pertama dalam perang nuklir. Dengan membangun sebanyak mungkin silo, musuh diharapkan akan kesulitan mendeteksi di mana senjata nuklir akan ditembakkan.
Menurut laporan Washington Post, para peneliti secara keseluruhan menemukan sebanyak 145 silo baru yang sedang dibangun di Cina.
Modernisasi memicu reaksi berantai
Sejak perang dingin, senjata nuklir lebih relevan dalam negosiasi politik, ketimbang medan perang. Program atom Iran, Korea Utara atau India dan Pakistan membiaskan nilai serupa. Ned Price mengaku pihaknya "mencatat” pernyataan Presiden Cina, Xi Jinping, dalam perayaan 100 tahun Partai Komunis, Selasa (1/7).
Dalam kesempatan itu, Xi menegaskan Cina saat ini tidak bisa lagi dirundung oleh adidaya dunia. Siapapun yang memberanikan diri, kata dia, "akan ditumpas dengan tembok raksasa dari besi, yang diasah oleh 1,4 miliar penduduk Cina.”
Cina saat ini menghadapi serangkaian konflik di perbatasan terluar, antara lain Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, Taiwan, Tibet dan Hong Kong. Dalam kisruh teritorial itu, AS kerap berseberangan dengan kepentingan Beijing.
Menurut para peneliti di James Martin, pergeseran kebijakan nuklir Cina boleh jadi dipicu modernisasi agresif AS terhadap cadangan nuklirnya. Awal 2021 lalu media-media AS melaporkan, Pentagon menyadangkan dana sebesar USD 634 miliar untuk mengembangkan hulu ledak, rudal balistik, kapal selam nuklir dan pesawat pembom nuklir generasi teranyar.
Kepada Washington Post, Jeffrey Lewis, salah seorang analis di James Martin, mengatakan "apa yang kita hadapi saat ini adalah perlombaan senjata yang dipicu oleh investasi dan pengembangan peluru kendali oleh AS.”
rzn/vlz (rtr, ap, wp)