Keberimbangan
Red: Fernan Rahadi
Media Sosial (ilustrasi) | Foto: Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: HD Iriyanto (Inspirator Metamorphosis, Dosen Universitas AMIKOM Yogyakarta)
Salam Metamorfosa, Salam Perubahan…
Hari ini menjadi hari ketiga pemberlakuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM Darurat). Sudah banyak respons yang muncul dari beragam elemen masyarakat. Intinya terpolarisasi menjadi tiga kelompok. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju, dan ada juga yang diam saja alias abstain. Masing-masing tentu saja memiliki argumentasi yang dianggap benar menurut logikanya sendiri.
Namun ketika kita masuk wilayah yang lebih dalam, yakni wilayah emosi atau perasaan, setidaknya ada empat varian perasaan yang dominan. Yang pertama bingung, kedua cemas, ketiga marah, dan keempat pasrah. Sedangkan perasaan yang bersifat positif, yang sudah pasti ada juga, munculnya tidak sekuat empat macam perasaan tadi.
Para pembaca yang siap berubah menjadi lebih baik…
Hipotesa yang saya tampilkan di atas memang bukanlah hasil dari sebuah riset atau survei ilmiah. Semata-mata merupakan hasil pengamatan via percakapan orang yang saya dengar maupun yang saya baca di berbagai media sosial. Berbagai ungkapan yang bernada negatif lebih sering saya temukan daripada yang bernada positif.
Sebagai misal: "Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang sudah-sudah hanya berlaku 14 hari, tapi mengapa yang sekarang sampai 17 hari, dan itu bertepatan dengan pelaksanaan ibadah sholat Idul Adha? Ada apa ya?" Ada juga yang menulis begini. "Di Rest Area orang leluasa berkerumun dan makan bareng, tapi masjidnya malah ditutup. Kok jadi terasa aneh ya?"
Demikian pula saat saya bersepeda bersama keluarga untuk sarapan pagi. Pemilik warung mengatakan dengan nada pasrah kalau pengunjung tidak boleh makan di tempat karena sehari sebelumnya sudah kena teguran. Tetapi tidak jauh dari warung tersebut, ada juga warung milik mantan pejabat daerah yang leluasa menerima tamu dan makan di situ.
Itu hanyalah contoh yang bisa saya utarakan. Jika kita lebih banyak menjumpai hal-hal semacam itu, tanpa diimbangi dengan sisi pandang lain yang bersifat positif, maka emosi kita menjadi mudah terpancing. Pun demikian ketika kita menyikapi penting tidaknya atau mendesak tidaknya vaksinasi. Bila hanya memikirkan dari satu sisi saja, maka bisa-bisa sikap kita menjadi runcing dan ekstrem.
Keberimbangan dalam memikirkan dan menyikapi sesuatu merupakan sebuah pilihan yang mampu melahirkan kearifan. Karena pada hakikatnya kehidupan ini juga harus dijalani dengan keberimbangan. Bukankah Allah SWT menciptakan bumi dan langit, serta silih bergantinya siang dan malam merupakan sebuah keberimbangan yang indah?
Karena itu, saat kita sedang jatuh dan terpuruk, sangat dianjurkan untuk memikirkan bagaimana caranya bisa bangkit. Saat kita sedang menikmati keperkasaan usia muda, kita juga dianjurkan untuk menyiapkan masa tua kita yang bakal semakin lemah. Saat kita sedang merasakan kesempitan, kita pun diseyogiakan untuk memikirkan kelapangan yang Allah SWT sediakan untuk kita.
Keberimbangan dalam memikirkan dan menyikapi sesuatu juga berpotensi melahirkan respons yang bijak dan sederhana. Di tengah pandemi Covid-19 yang disikapi oleh sebagian besar orang sebagai musibah, pasti terdapat berkah yang dikirim Allah SWT kepada umat manusia. Meski kalimatnya terkesan amat berkelakar, tapi inilah contoh berkah yang dikirim Allah SWT kepada sebagaian hamba-Nya: "Orang pada diam di rumah karena takut terpapar virus, debt collector malah pada keluyuran menagih utang, katanya mumpung orangnya ada di rumah."
Dengan demikian, biasakanlah untuk mencerna segala informasi secara berimbang. Second opinion seringkali kita perlukan untuk melengkapi informasi sebelumnya, sehingga sikap, tindakan, dan keputusan yang kita ambil bisa menjadi lebih tepat dan logis. Bukankah itu sebuah pilihan yang lebih baik? Keep spirit & change your life.