REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene, Provinsi Sulawesi Barat, Saharuddin menyayangkan sikap BEM UI beberapa waktu lalu yang terkesan mengolok-olok Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Saharuddin, Presiden adalah simbol negara. Ibaratnya dalam organisasi, ketua organisasi adalah simbol yang sangat dihormati. Meskipun terdapat kekeliruan dalam kebijakan organisasi, penyampaian kritik harus tetap mengedepankan etika kesantunan.
“Seperti kita di wilayah Timur Indonesia, ada yang namanya "sipakalebbi' dan 'sipakatau', rasa saling menghormati dan menghargai. Kritik tidak dilarang, tapi tetap kedepankan norma etika dan sikap intelektual sebagai kaum terdidik," kata dia di Jakarta, Ahad (4/7).
Pria kelahiran Ulumanda, Majene ini menjelaskan bahwa sebagai negara berasas demokrasi, berekspresi di muka umum adalah hal yang sah-sah saja, namun tidak boleh kelewatan batas.
Dia berpendapat jelas beda antara menyampaikan aspirasi atau pendapat dengan menghina. “ Kita sebagai kaum intelektual harus berhati-hati dalam bersikap. Mahasiswa harus selalu kritis mengawal keberjalanan pemerintah, tapi jangan menjadi aktor-aktor penyebar ujaran kebencian dan penghinaan,” kata mahasiswa Jurusan Syariah dan Ekonomi Bisnis Islam tersebut.
Selain itu, Saharuddin juga menambahkan bahwa dalam kondisi pandemi yang situasinya semakin darurat saat ini, sudah seharusnya Pemerintah dan masyarakat sipil bersatu padu dan bergerak bersama melakukan percepatan penanganan Covid-19.
Dia menilai, masih banyak rakyat Indonesia yang terdampak akibat pandemi ini, kehilangan pekerjaan dan pendapatan berkurang. Sebagai insan yang mengamalkan tri dharma perguruan tinggi, seharusnya ikut terlibat membantu pemerintah melakukan percepatan penanganan Covid-19. “Bukannya justru membuat pernyataan yang menghina dan mendiskreditkan Presiden," tutur dia.