REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Parlemen Israel akan menggelar pemungutan suara untuk menentukan apakah memperpanjang undang-undang sementara yang melarang warga Arab di daerah pendudukan Tepi Barat dan Gaza menjadikan pasangan mereka warga negara Israel. Undang-undang itu mulai diberlakukan sejak 2003.
Anggota parlemen sayap kiri dan Arab di Israel mengkritik undang-undang tersebut. Mereka mengatakan legislasi itu kebijakan rasis yang menghalangi pertumbuhan penduduk masyarakat minoritas Arab di Israel.
Sementara pendukungnya mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk alasan keamanan dan melestarikan karakter Yahudi bangsa Israel. Undang-undang itu menyulitkan keluarga-keluarga Palestina yang tinggal di perbatasan usai perang 1967.
Partai-partai sayap kanan mendukung undang-undang tersebut dan memperbaharuinya setiap tahun sejak diberlakukan. Tapi pemerintah baru Israel juga berisi partai-partai yang menolak undang-undang tersebut.
Oposisi yang dipimpin mantan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berniat mempermalukan pemerintah yang baru. Mereka telah memperingatkan tidak akan memberikan suara yang diperlukan untuk memberlakukan kembali undang-undang tersebut.
Pemungutan suara undang-undang yang dinamakan Citizenship and Entry law itu digelar pada Senin (5/7) sore. Awalnya undang-undang itu diberlakukan sementara saat puncak intifada atau pemberontakan kedua, ketika Palestina melancarkan serangan-serangan mematikan di dalam Israel.
Pendukung undang-undang itu mengatakan warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza rentan direkrut pemberontak bersenjata. Karena itu, pemeriksaan rutin tidak cukup untuk memastikan keamanan.